SEJARAH PERKEMBANGAN PERADILAN AGAMA PADA MASA ORDE BARU (1980-1998)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Secara jujur harus diakui bahwa sejarah Peradilan Agama di
Indonesia, sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakimantelah cukup memakan
waktu yang sangat panjang, sepanjang agama Islam itu sendiri eksis di
Indonesia. Dikatakan demikian, karena memang Islam adalah agama hukum, dalam
arti sebuah aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Allah Sang Pencipta (hablumminallah) yang sepenuhnya dapat
dilakukan oleh pemeluk agama Islam secara pribadi (person) dan juga mengandung kaidah-kaidah yang mengatur hubungan
manusia dengan manusia lain (hablumminannas)
dan dalam kehidupan masyarakat yang memerlukan bantuan penyelenggara negara
untuk melaksanakannya secara paripurna.
Peradilan Islam di Indonesia yang di
kenal dengan Peradilan Agama keberadaannya jauh sebelum Indonesia merdeka
karena ketika Islam mulai berkembang di Nusantara, Peradilan Agama juga telah
muncul bersamaan dengan perkembangan kelompok di kala itu, kemudian memperoleh
bentuk-bentuk ketatanegaraan yang sempurna dalam kerajaan-kerajaan Islam. Hal
ini karena masyarakat Islam sebagai anggota masyarakat adalah orang yang paling
mentaati hukum dalam pergaulan orang perseorangan maupun pergaulan umum.
Peradilan Agama yang telah lama dikenal masyarakat muncul sebelum datangnya
Penjajah Belanda yang banyak mengalami pasang surut hingga sekarang, pada
mulanya peradilan Islam sangat sederhana sesuai dengan kesederhanaan masyarakat
dan perkara-perkara yang diajukanya kepadanya pada awal islam, lalu berkembang
sesuai dengan kebutuhan hukum yang
berkembang dalam Masyarakat.
Peradilan agama pada masa
Orde Lama ke Orde Baru terjadi pada tahun 1967. Ketika itu Soeharto diangkat menjadi
Presiden. Dengan demikian, Soeharto member nama pemerintahannya dengan Orde Baru,
yaitu suatu tatanan atau sistem yang secara murni dan konsekuen melaksanakan Undang-Undang
Dasar 1945. Pada mulanya secara kelembagaan
Peradilan Agama berada di bawah lingkup Departemen Agama. Setelah diundangkan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Akhirnya Peradilan Agama dialihkan ke
dalam lingkungan Mahkamah Agung. Sejak saat itulah, Pengadilan Agama, baik dari
sisi kewenangan maupun kelembagaan diatur oleh sebuah peraturan perundangan
yang secara eksplisit merinci tentang pelayanan Peradilan yang standar yang
harus diberikan oleh lembaga Peradilan Agama tersebut.
Selanjutnya dalam makalah ini akan kami paparkan menegenai sejarah
perkembangan peradilan agama pada masa orde baru antara tahun 1980-1989,
sehingga kita dapat memahami tentang dinamika peradilan agama pada masa itu.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Peradilan Agama?
2. Bagaimana sejarah perkembangan Peradilan
Agama pada masa orde baru (1980-1989) ?
3. Bagaimana kompetensi dan kewenangan
Peradilan Agama pada masa tersebut?
4. Bagaimana kedudukan Hakim Peradilan Agama
pada masa itu terkait dengan tugas, dan wewenangnya?
5. Bagaimana Independensi Lembaga Peradilan
Agama pada masa tersebut?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Peradilan Agama
Setiap adanya masyarakat maka terdapat pula adanya aturan hukum
yang akan diberlakukan bagi seluruh anggota masyarakat. Dalam pemberlakuan
aturan hukum tentunya dibuat agar meminimalisir adanya suatu konflik antar
anggota masyarakat. Namun, aturan yang telah dibuat dan diberlakukan tidak
sepenuhnya dipatuhi. Adanya keinginan untuk memilliki hak yang lebih dan
tingkat kemiskinan yang tinggi merupakan salah faktor terjadi adanya benturan-benturan
antar manusia sebagai subyek hukum. Guna menyelesaikan perselihan antar anggota
masyarakat maka diperlukan suatu lembaga dimana mempunyai fungsi memutus
perselihan dan memberikan rasa keadilan antar pihak yang bersengketa.
Berangkat dari hal tersebut, maka lembaga yang berwenang dalam
penyelesaian perselihan dikenal dengan nama peradilan. Peradilan menurut kamus
besar bahasa Indonesia adalah segala sesuatu yang mengenai perkara pengadilan.[1]
Sedangkan menurut ahli hukum peradilan adalah kewenangan suatu lembaga untuk
menyelesaikan perkara untuk dan atas nama hukum demi tegaknya hukum dan
keadilan.[2]
Sementara dalam bahasa Arab, peradilan disebut al-qadha yang secara etimologi
mempunyai beberapa arti:
1.
Al-Faraagh
artinya putus atau selesai, sesuai dengan firman Allah QS. Al-Ahzab ayat 37.
2.
Al-Adaa’
artinya menunaikan atau membayar, seperti pada firman Allah QS. Al-Jumuah ayat
10.
3.
Al-Hukm artinya
mencegah atau menghalangi.
4.
Qadha adalah
memutuskan hukum atau membuat suatu ketetapan.[3]
Sehingga dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peradilan
adalah lembaga yang mempunyai kekuasaan umum untuk mengadili dan memutuskan
perkara antara dua orang atau lebih.
Peradilan sebagai lembaga
penyelesaian perselisihan telah lama dikenal di tengah masyarakat Indonesia
sejak lama, peradilan tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Peradilan
Pradata, yaitu suatu peradilan yang tugas dan kewenangannya mengurusi dan
mengangani perkara-perkara yang menjadi urusan raja.
2.
Peradilan Padu,
yaitu suatu peradilan yang mempunyai tugas dan wewenang mengurusi dan menangani
perkara-perkara yang bukan menjadi urusan raja.[4]
Penyebaran agama Islam yang telah
sampai ke wilayah Indonesia dan secara bertahap diterima oleh masyarakat
Indonesia. Agama Islam telah banyak mempengaruhi ajaran, budaya, nilai-nilai
norma masyarakat serta sitem peradilan yang sebelumnya berpaham ke ajaran Hindu
Budha. Peradilan Agama yang sebelumnya Peradilan Islam merupakan salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu
sebagaimana dimaksud dalam.Undang-Undang
ini” (Pasal 2 UU No. 3 Tahun 2006). Dalam hal
ini, Peradilan Agama hanya berwenang dibidang perdata tertentu saja, tidak
pidana dan pula hanya untuk orang-orang Islam di Indonesia, dalam perkara-perkara
perdata Islam tertentu, tidak mencakup seluruh perdata Islam.[5]
B.
Sejarah dan
Perkembangan
Peradilan Agama sebagai institusi
atau lembaga peradilan di Indonesia sangatlah penting dalam penegakkan
hukum di Indonesia khususnya dalam lingkup hukum Islam. Hal tersebut terbukti
dengan adanya pelaksanaan kekuasaan kehakiman dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia dengan berlakunya UU No 14 Tahun 1970. Berlakunya peraturan UU No 14
Tahun 1970 merupakan akar dari Keputusan Menteri Agama No 6 Tahun 1980 tentang
Penyeragaman nama-nama pengadilan dalam lingkungan peradilan agama dengan
sebutan Pengadilan Agama pada tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama pada
tingkat banding.
Guna menciptakan peradilan agama
yang mandiri dan sejajar dengan peradilan yang lain sebagai pelaksana kekuasaan
kehakiman, peradilan agama banyak mengalami proses panjang yaitu dari tahun
1975-1988. Departemen Kehakiman dengan koordinasi BPHN (Badan Pembinaan Hukum
Nasional) menyediakan anggaran untuk RUU-PA, yaitu dengan keluarnya:
1.
Surat Keputusan
Menteri Kehakiman No G-164 PR-09.03 tahun 1982 tentang pembentukan tim inti
pembahasan dan pembentukan
2.
Surat Keputusan
Menteri Kehakiman No G-25 PR-09.03 tahun 1983 tentang pembentukkan panitia
antar Departemen dan Perguruan Tinggi dan Panitia Penyusunan RUU tentang Acara
Peradilan Agama
3.
Surat Keputusan
Menteri Kehakiman No G-198 PR-09.03 tahun 1984 tentang Tim Pembahasan dan
Penyusunan RUU tentang Susunan Kekuasaan Badan Peradilan Agama yang dibiayai
dari dana BADKI Departemen Agama.[6]
Kemudian setelah
diundangkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Akhirnya
Peradilan Agama dialihkan ke dalam lingkungan Mahkamah Agung yang sebelumnya di
bawah Departemen Agama. Sejak saat itulah, Pengadilan Agama, baik dari sisi
kewenangan maupun kelembagaan diatur oleh sebuah peraturan perundangan yang
secara eksplisit merinci tentang pelayanan Peradilan yang standar yang harus
diberikan oleh lembaga Peradilan Agama tersebut. Namun demikian, kewenangan
yang dimiliki Peradilan Agama ketika itu memang masih sangat terbatas.
Penyelesaian sengketa yang menjadi kompetensi Peradilan Agama masih berkisar
dan terpusat pada penyelesaian masalah nikah, talaq, cerai dan rujuk.
Masuknya pihak
eksekutif ke dalam kekuasaan kehakiman disinyalir sebagai salah satu sebab
mengapa kekuasaan kehakiman di negeri ini tidak independen. Alasan itulah
antara lain yang menyebabkan status dan kedudukan Peradilan Agama belum bisa
dikatakan sebagai Peradilan yang independen, mandiri, dan kokoh, selama masa
Orde Baru. Untuk memperbaiki kondisi tersebut, pada tanggal 8 Desember 1988
Presiden RI menyampaikan Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama (RUU PA)
kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang,
akhirnya RUU PA tersebut disahkan menjadi UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama.[7]
C.
Kompetensi dan
Kewenangan Peradilan Agama
Dengan berlakunya UU No 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama maka dalam kewenangannya sangatlah mempunyai peran
penting dalam penegakkan hukum Islam bagi masyarakat Islam di Indoensia. Selain
itu, dengan perumusan KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang meliputi bidang
perkawinan, kewarisan, dan perwakafan, maka salah satu masalah yang dihadapi
oleh Peradilan Agama yaitu kenaekaragaman dan ketentuan hukum dapat teratasi.
Berkenaan dengan hal tersebut, maka dalam uraian berkutnya dikemukakan tentang
UU No 7 tahun 1989 serta adanya Intruksi Presiden (Inpres) No 1 tahun 1991
tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
Undang-Undang no 7 tahun 1989
merupakan bentuk pelaksanaan atas Undang-Undang No 14 tahun 1970 yang secara
umum isi dari UU No 7 tahun 1989 memuat perubahan tentang penyelanggaraan PADI,
yaitu:[8]
1.
Perubahan
tentang dasar hukum pelenggaraan PADI
2.
Perubahan
tentang kedudukan PADI dalam tata peradilan nasional
3.
Perubahan
tentang kedudukan hakim Peradilan Agama
4.
Peruabahan
tentang kekuasaan pengadilan dalam lingkungan PADI
5.
Perubahan
tentang hukum acara Peradilan Agama
6.
Perubahan
tentang administratif Peradilan Agama
7.
Perubahan
tentang perlindungan terhadap wanita.
Selanjutnya dikeluarkannya Inpres No
1 tahun 1991 tentang Penyelenggaraan Kompilasi Hukum Islam berhubungan dengan
kemajemukan hukum dalam sistem hukum nasional. Dengan adanya peraturan tersebut
menjadikan Peradilan Agama dapat diakui keberadaannya dimana Peradilan Agama
mempunyai kewenangan menangani persengketaan di bidang perkawinan, kewarisan
dan perwakafan. Walaupun KHI bukanlah suatu Undang-Undang, namun merupakan
petunjuk terhadap Undang-Undang dengan adanya Inpres No 1 tahun 1991 yang dapat
diterapkan oleh para hakim dalam yurisprudensi Peradilan Agama dalam memutus
perkara-perakara yang dihadapi dalam ruang lingkup hukum keluarga Islam.
D.
Kedudukan, Kekuasaan dan Kewenangan Hakim
Peradilan Agama
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai
perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-undang ini. Kekuasaan
Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama,
Pengadilan Tinggi Agama. Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama
berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.[9]
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24 menyebutkan
bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan Mahkamah Agung RI dan lain-lain badan
peradilan menurut undang-undang. Sebagai realisasi pasal 24 Undang-Undang Dasar
1945 itu, maka ditetapkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Titik awal pembaruan peradilan
agama baru dimulai sejak ditetapkan UU No. 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, pemerintah lebih mempertegas
keberadaan peradilan agama. Paling tidak, ada dua prinsip pokok pembaruan
peradilan agama yang diatur UU No. 14 Tahun 1970. Pertama, menetapkan Peradilan
Agama sebagai salah satu lingkungan badan peradilan negara disamping tiga badan
peradilan lainnya. Kedua, penghapusan sistem “fiat eksekusi”[10]
oleh peradilan umum atas putusan peradilan agama. Sehingga menyebabkan
kedudukan peradilan agama yang “inferior ” di hadapan peradilan umum.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 ini telah
menempatkan Peradilan Agama sebagai salah satu lingkungan pelaksanaan kekuasaan
kehakiman, secara konstitusional, Pengadilan Agama merupakan salah satu
badan peradilan yang mandiri dan sederajat dengan lembaga perdilan yang
lain. Wewenang Peradilan Agama adalah menerima, memeriksa, mengadili dan
menyelesaikan perkara tertentu dan bagi kelompok tertentu, yaitu
perselisihan di antara orang-orang yang beragama Islam. Ditetapkan pula
bahwa pembinaan dan pengawasan fungsi Pengadilan Agama dilaksanakan oleh
Mahkamah Agung RI, sedangkan organisasi, administrasi, finansial berada
di bawah Departemen Agama RI.[11]
Kemudian, peradilan agama lebih diperkuat lagi
dengan keluarnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1/1977 tentang Kasasi bagi
putusan Pengadilan Agama. Penyeragaman istilah untuk seluruh Indonesia baru
dilakukan setelah keluarnya Surat Keputusan (SK) Menteri Agama Nomor 6 Tahun
1980, yaitu Pengadilan Agama untuk pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan
Tinggi Agama untuk tingkat banding. Pada 29 Desember 1989, Presiden Republik
Indonesia mengesahkan UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang dimuat
dalam Lembaran Negara RI Nomor 49 Tahun 1989 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor
3400.[12]
Sehubungan dengan hal tersebut di atas,
pembinaan Peradilan Agama diarahkan untuk menjamin penegakan, pelayanan dan
kepastian hukum dalam bidang kekeluargaan bagi masyarakat yang beragama
islam. Disamping itu, pembinaan Peradilan Agama juga diarahkan untuk
meningkatkan keterpaduan dalam pembinaan dan penyelenggaraan Peradilan Agama
dengan ketiga badan peradilan yang lain. Kemudian disisipkan pula hakim
Peradilan Agama yang berkualitas dan profesional dalam penegakan hukum,
kepastian hukum, dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Suasana dan peran
Peradilan Agama pada pasca-Stbl. Nomor 116, yurisdiksinya tetap kabur balik
dalam bidang perkawinan dan kewarisan. Demikian juga dalam pasal 63 Ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 masih ada kesan melecehkan Pengadilan Agama,
yaitu putusannya mesti harus dikukuhkan oleh Pengadilan Negeri, seolah-olah
Peradilan Agama bukan peradilan yang mandiri.[13]
Setelah disahkannya UU No. 7 Tahun 1989,
peradilan agama memiliki UU yang lebih maju dari ketentuan-ketentuan UU yang
ada sebelumnya.[14]Namun,
dari segi aspek kedudukan dan status sebagai satu kesatuan pelaksana kekuasaan
kehakiman di negara hukum Indonesia, ia belum bisa dikatakan mandiri,
karena masih berada di bawah Departemen Agama sebagai pelaksana kekuasaan
eksekutif. Akibatnya, proses dan perjalanan peradilan agama menjadi tidak
normal.[15]
Bukan saja karena adanya intervensi dari
kekuatan politik di eksekutif, tetapi juga perhatian pihak eksekutif
terhadap peradilan agama jauh dari memadai. Menurut sumber dari Direktorat
Pembinaan Badan Peradilan Agama dalam periode tahun 1970-1989 baru ada 158
Pengadilan Agama dan 10 Pengadilan Tingkat Banding, hakim agama baru ada
sebanyak 155 orang sehingga tugas-tugas dalam penyelesaian perkara dibantu oleh
hakim honorer dari para kiai dan para tokoh masyarakat yang ahli dalam bidang
hukum Islam. Hukum acara masih berserak dan terserak dalam berbagai peraturan
perundang-undangan yang ditinggal pemerintah kolonial Belanda yang masih
dinyatakan berlaku.[16]
Perlu dicatat bahwa pada masa-masa awal
Peradilan Islam itu, wewenangnya sangat luas dan tidak terbatas hanya pada
urusan ahwal al-syakhsiyah saja, seperti nikah, talak rujuk, waris, hadanah,
tetapi juga mencakup hukum pidana (jinayah), sehingga Peradilan Islam ketika
itu betul- betul merupakan peradilan umum bagi umat Islam.[17]Dengan
diangkatnya Hakim Agama Honorer pada Pengadilan Agama, maka pada saat itu ada
dua macam status hakim pada Pengadilan Agama yaitu, (1) Hakim Agama Tetap,
yaitu hakim yang diangkat dari lulusan fakultas syariah, minimal lulusan PHIN
yang diangkat langsung oleh Menteri Agama RI; (2) Hakim Agama Honorer, yaitu hakim yang direkrut dari para
Alim Ulama atau orang yng dipandang mampu dalam bidang hukum Islam, yang
mengangkatnya dilakukan oleh Ketua Pengadilan Tingkat Banding atas nama Menteri
Agama RI. Honorarium mereka dibayar oleh negara, disamping mendapat uang sidang
seperlunya dari Pengadilan Agama tempat mereka bersidang.
Sehubungan dengan tradisi majelis sidang yang ditetapkan dalam
Stbl. 1957, Nomor 116 dan Nomor 610, juga dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45
Tahun 1957, maka Menteri Agama RI mengangkat hakim honorer agar sidang-sidang
Pengadilan Agama memenuhi kuorum majelis. Jabatan wakil ketua pada Pengadilan
Agama belum terisi karena personelnya belum ada, maka wakil ketua honorer
diangkat dengan tugas apabila ketua berhalangan sidang, maka sidang-sidang
Pengadilan Agama dapat dipimpin oleh wakil ketua honorer tersebut. Walaupun
demikian, kenyataan menunjukan lain yaitu, kesempatan mereka untuk menghadiri
sidang Pengadilan Agama menjadi tertunda, dan lambat penyelesaiannya.
Antisipasi kelembagaan terhadap kondisi ini, maka Mahkamah Agung RI dengan
suratnya Nomor 0/TUADA-AG/III/-Um/ 1987 tanggal 10 Januari 1987 mengijinkan
untuk dilaksanakan sidanag-sidang di Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi
Agama dengan hakim tunggal.
Atas dasar keputusan Musyawarah Alim Ulama Terbatas itu Menteri
Agama RI mengngkat wanita menjadi hakim pada Pengdilan Agama. Bahkan sekarang
ada wanita hakim Pengadilan Agama menjadi Ketua Pengadilan Agama. Sebenarnya
apa yang dilaksanakan oleh Menteri Agama RI itu bukanlah hal yang baru,
sebab jauh sebelumnya Departemen Agama telah melaksanakan Kursus Calon Hakim
Agama Wanita berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI atas desakan pihak Kongres
Wanita Indonesia (KWI) kedua di Bandung pada tanggal 22-24 November 1956. Dalam
merekrut hakim agama wanita pada waktu itu mata pelajaran yang di uji adalah
Wanita
Islam, Wanita dalam Hukum Adat, Sistem Pengadilan di Indonesia, dan Pengantar
Ilmu Hukum.[18]
Usaha kerja sama antara Departemen Agama RI dan
Mahkamah Agung RI berpengaruh besar terhadap badan Pengadilan Agama. Pada tahap
pertama di tunjuk beberapa Hakim Agung untuk memeriksa dan memutus
perkara kasasi dari lingkungan Peradilan Agama, yaitu, Ny. Sri Widoyanti
Wiratmo Sukito, Z. Asikin Kusumaatmadja, Ronindyopuro, dan Busthanul Arifin.
Setelah itu lahir Keputusan Presiden Nomor 33/M/1982 tanggal 22 Februari 1982
tentang Pengangkatan Prof. H. Bustanul Arifin, SH. Sebagai Ketua Muda Mahkamah
Agung RI Urusan Lingkungan Peradilan Agama.
Efektivitas pola strategi pembinaan tersebut
mendorong diadakan rapat kerja sama antara Mahkamah Agung RI dengan Departemen
Agama RI yang kedua. Beberapa hal yang perlu dicatat sebagai realisasi dan
keputusan kerja tersebut adalah: (1) penandatanganan empat buah Surat Keputusan
Bersama (SKB) antara Ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI pada
Januari 1983. Salah satu SKB tersebut adalah tentang pengawasan terhadap hakim
Peradilan Agama dalam rangka meningkat disiplin dan wibawa hakim; (2)
pembentukan tim inti pembahasan dan penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang
Acara Paeradilan Agama, pembentukan tim ini dilaksanakan dengan Keputusan
Menteri Kehakiman RI Nomor G. 164, PR. 0903 Tahun 1982, kemudian dikuatkan
dengan izin Sekretaris Negara RI Nomor 736/-Mensesneg/9/1983 tanggal 13
September 1983.
Langkah strategis lain yang dirancang sebagai
tindak lanjut hasil raker tadi adalah pembentukan hukum materil yang akan
dijadikan pegangan bagi hakim Pengadilan Agama. Ide pembentukan hukum materil
dalam wujud Kompilasi Hukum Islam (KHI) timbul setelah beberapa tahun setelah
Mahkamah Agung RI membina bidang teknis yutisial Peradilan Agama. Disana
disarankan adanya beberapa kelemahan antara lain soal hukum Islam yang tetap di
lingkungan Peradilan Agama cenderung beragam disebabkan oleh perbedaan pendapat
ulama dalam hampir setiap persoalan. Untuk itu diperlukan satu buku yang
menghimpun semua hukum yang dapat dijadikan pegangan oleh hakim Peradilan
Agama dalam melaksanakan tugasnya, sehingga terjamin adanya kesatuan hukum.
Langkah-langkah strategis itu diorganik dengan pembentukan keputusan bersama
Ketua Mahkamah Agung RI dengan Menteri Agama RI Nomor 07/KMA/1985 dan Nomor 25
Tahun 1985 tanggal 15 Maret 1985 tentang Penunjukan Pelaksanaan Proyek
Pembangunan Hukum Islam Melalui Yurisprudensi.
Setelah mengalami proses kerja yang saksama dan
memakan waktu yang cukup panjang, maka rancangan Kompilasi Hukum Islam tersusun
dan diterima baik dalam lokakarya yang dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 2-5
Februari 1988. Kompilasi Hukum Islam terdiri dari tiga buku, yaitu buku
pertama Hukum Perkawinan, kedua Hukum Kewarisan dan buku ketiga memuat
Hukum Perwakafan. Presiden RI dengan Intruksi Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10
Juni 1991 memerintahkan Menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum
Islam itu kepada seluruh instansi pemerintah, dan masyarakat yang
memerlukannya.
Dengan keluarnya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, tidak ada masalah lagi tentang: (1) Wewenang; (2)
Hukum Acara; (3) Susunan Peradilan Agama. Dan kekurangan lainnya seperti hukum
material tertulis yang disusun secara sistematis dalam bahasa dan Peraturan
Perundang-undangan yang dapat dijadikan pegangan oleh semua pihak yang mencari
keadilan di Pengadilan Agama, juga telah lahir dalam bentuk instruksi presiden
No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.[19]
Tentang kedudukan Hakim Peradilan Agama
dalam kurun waktu ini, dikemukakan oleh Purwo S. Gandasubrata, Wakil Ketua
Mahkamah Agung RI dalam simposium Sejarah Peradilan Agama tanggal 5 April 1982
di Jakarta bahwa Hakim Peradilan Agama sekarang bukan lagi “Penghulu Rechter”
zaman dahulu. Sesuai dengan pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dimana
dijelaskan bahwa Peradilan Agama termasuk salah satu lingkungan peradilan yang
diakui negara, maka hakim yang bekerja di Peradilan Agama adalah hakim negara
dengan tugas mengadili perkara tertentu yang masuk kewenangannya.[20]
Keluarnya Instruksi Presiden RI Nomor 12 tahun
1970 tentang Penegasan Kedudukan Hakim, maka ada sementara pihak yang
mempertanyakan apakah hakim agama termasuk hakim negara? Sehubungan dengan hal
ini Kepala Kantor Urusan Pegawai dalam rapat kerja yang dilaksanakan pada bulan
September 1970 di Jakarta menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hakim adalah
hakim pada Pengadilan Negeri, Hakim Pengadilan Agama termasuk juga dalam
ketentuan instruksi tersebut, apabila berstatus sebagai pegawai negeri
dan mendapat gaji dari kas negara.
Kedudukan tadi dipertegas lagi oleh Ketua
Mahkamah Agung RI dengan Departemen Agama RI dengan SKB Nomor KMA/00/1/1983 dan
Nomor 4 Tahun 1983, di mana dikemukakan bahwa perlu adanya usaha membantu
memperlancar rekrutmen hakim pada Pengadilan Agama sebagai hakim negara tidak
perlu di persoalkan lagi. Kedudukannya sama dengan hakim yang bekerja di
lingkungan peradilan yang lain.[21]
Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan
salah satu pilar bagi negara yang berlandaskan sistem demokrasi dan negara
hukum.[22]Kekuasaan
kehakiman yang bebas dan tidak memihak tidak hanya diartikan bebas dari
pengaruh kekuasaan eksekutif, tetapi juga bebas dari gangguan dalam
melaksanakan tugasnya. Kekuasaan kehakiman juga merupakan instrument
penting untuk menjamin hak-hak asasi dalam mempertahankan keadilan yang
merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam demokrasi.
Kekuasaan
kehakiman bukan suatu lembaga yang dapt menuntaskan segala persoalan yang
menyangkut kekuasaan kehakiman. Beberapa aspek yang sering menjadi persoalan di
dalam kekuasaan kehakiman adalah menyangkut pengangkatan, promosi, mutasi
pemberhentian, dan tindakan atau hukuman terhadap hakim.
Perlunya
suatu lembaga khusus yang memiliki fungsi-fungsi tertentu yang berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman sesungguhnya bahkan merupakan gagasan yang benar-benar baru
di Indonesia. Pada tahun 1968, ketika dilaksanakan diskusi membahas RUU tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sempat diusulkan pembentukan
lembaga yang diberi nama Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH). Majelis
ini mempunyai fungsi untuk memberikan pertimbangan dan mengambil keputusan
terakhir mengenai saran-saran atau usul-usul yang berkaitan dengan pengangkatan,
promosi, mutasi pemberhentian, dan tindakan atau hukuman jabatan hakim, yang
diajukan baik oleh Mahkamah Agung maupun Departemen Kehakiman.[23]
Hakim
sebagai pebegak hukum dan keadilan berkewajiban mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Tugas tersebut dibebankan kepada
hakim Peradilan Agama agar dapat memutuskan perkara yang diajukan
kepadanya dengan adil dan benar. Mukti Ali,
ketika menjabat Menteri Agama RI pada penutupan latihan hakim agama
mengemukakan bahwa hakim agama harus dapat menggali, memahami, dan mengahayati
hukum yang hidup dalam masyarakat dengan cara meningkatkan ilmu pengetahuan.
Sangat besar bahayanya apabila hakim tidak memiliki ilmu pengetahuan yang
cukup.[24]
Dalam
kaitan ini dimana Rasulullah SAW mengatakan bahwa hakim itu ada tiga golongan,
satu golongan dimasukan kedalam surga, dua golongan dimasukan kedalam neraka.
Hakim yang memegang kebenaran itulah dimasukan kedalam surga, hakim yang
mengetahui kebenaran tapi berlaku curang dalam memberikan keputusan hukum
terhadap suatu perkara, dimasukan kedalam neraka. Begitu pula apabila ia
dalam mengambil keputusan lalu ia berijtihad, kemudian ternyata ijtihadnya itu
benar, maka ia berhak mendapat dua pahala, tetapi jika ia bersalah mendapat
satu pahala.[25]Dengan
demikian, hakim Peradilan Agama dalam menciptakan hukum-hukum baru tidak boleh
lepas dari ijtihad sebagaimana yang telah ditentukan oleh hukum syara’ ,
sehingga putusan-putusan yang ditetapkan mempunyai bobot keadilan yang dapat
diandalkan. Putusan yang ditetapkan oleh Hakim Peradilan Agama itu dapat
menentukan isi hukum yang hidup di Indonesia yang sesuai dengan falsafah
Pancasila.
E.
Independensi dan kesejajaran Peradilan Agama
Lembaran baru
bagi pencerahan dunia peradilan agama di Indonesia mulai tergores karena pada
tanggal 29 Desember 1989 RUUPA (Rancanggan Undang-Undang Peradilan Agama) yang
sebelumnya ditunggu-tunggu dengan pengharapan yang beragam, disahkan menjadi
Undang-Undang Negara, yaitu UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Menurut
Ismail Sunny, UU. No 7 Tahun 1989 itu merupakan bukti nyata besarnya pemahaman
dan perhatian pemerintah terhadap aspirasi umat islam, yang mendambakan adanya
undang-undang yang secara khusus mengatur tentang peradilan agama.[26]
Lahirnya UU No.
7 Tahun 1989 tersebut memebawa pengaruh yang sangat besar terhadap keberadaan
peradilan agama di Indonesia sehingga menjadi mandiri dan berdiri sam tinggi
dengan pengadilan-pengadilan lainnya. Undang-undang tersebut bukan saja hanya
mengatur tentang susunan, kekuasaan dan acara pengadilan dalam lingkungan
peradilan agama, tetapi yang sangat mendasar adalah dicabutnya pelbagai aturan
yang selama ini mengganjal, baik mengenai pembatasan jangkauan dan penerapan
hukum islam bagi umat islam di pengadilan agama, seperti yang tertera dalam
pasal 4 ayat 2 PP No 45 Tahun 1957 (masih kuatnya pengaruh teori reseptie-hukum
islam baru bisa diterapkan apabila sesuai dengan hukum adat), maupun mengenai
ketergantungan pengadilan agama kepada pengadilan negeri berkenaan dengan
pengukuhan sebagaimana tertera dalam pasal 63 ayat (2) UU No. ! Tahun 1974.
Melalui pasal
107 UU No. 7 tahun 1989, keberadaan staatsblad 1882 Nomor 152 tentang peradilan
agama di Jawa Timur dan Madura, staatsblad 1937 Nomor 116 dan 610 tentang
Mahkamah Islam Tinggi di jawa dan Madura, Staatblad 1937 Nomor 638 dan 639
tentang kerapatan Qadhi dan kerapatamn Qadhi besar di sebagian residensi
kalimantan Selatan dan Timur, PP Nomor 45 Tahun 1957 tentang pembentukan
mahkamah syari'ah di luar Jawa dan Madura, dan pasal 63 ayat (2) UU No. 1 tahun
1974 tentang pengukuhan Keputusan Pengadilan Agama oleh pengadilan Negeri, [27]
secara yuridis tidak berlaku lagi . dengan demikian , peradila agama sebagai
peradilan khusus yang mengadili perkara-perkara tertentu dan mengenai kelompok
masyarakat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama islam menjadi sejajar
dengan peradilan-peradilan lainnya di Indonesia (PN, PTUN, dan PM)
Dengan
berlakunya UU No.7 Tahun 1989, hierarki pengadilan dalam lingkungan peradilan
agama memiliki hubungan ganda, yakni : (1) hubungan fungsional dengan Mahkamah
Agung, yaitu segi yuridiksi-administratif peradilan; (2) hubungan struktural
dengan departemen Agama, yaitu segi administrasi umum, yang meliputi organisasi
kelembagaan , kepegawaian, sarana, dan finansial. UU NO. 7 Tahun 1989 ini
sekaligus menghapus sebutan pengadilan agama yang kerempeng, "hidup segan
mati pun tak mau". Karena Pengadilan Agama telah memiliki regulasi yang
kuat, yang mengatur tentang; susunan, kekuasaan, dan hukum acaranya.[28]
Kelengkapan
susunan yang legitimate serta kekuasaan dan kewenangan yang jelas yang dimiliki
peradilan agama itu dilengkapai pula dengan adanya sumber hukam acara seperti
disebutkan dalam pasal 54 UU No. 7 Tahun
1989, yaitu hukum acara perdata sebagaimana yang berlaku dalam lingkungan
peradilan umum. Disamping itu, dimiliki pula hukum acara yang secara khusus
berlaku bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan agama yang terdapat dalam
pasal 55 sampai dengan pasal 91 UU No. 7 tahun 1989. Dengan adanya ketentuan hukum
yang dijadikan rujukan dalam beracara, maka hakim pengadilan dalam lingkungan
peradilan agama tidak lagi sembarangan dalam memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara , tetapi dikawal oleh mekanisme dan aturan permainan yang
harus diikuti sebagaimana halnya yang sudah berlaku pada pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum.[29]
Posisi
peradilan agama itu semakin lengkap
dengan lahirnya Inpres No 1 tahun 1991 tentang Pemasyarakatan kompilasi Hukum Islam yang berlaku sebagai hukum materiil bagi
pengadilan agama . Pemberlakuan Inpres No 1 tahun 1991 itu sendiri diatur dengan keluarnay Keputusan
Menteri Agama No 154 tahun 1992, yang salah satu konsiderannya menyatakan,
bahwa KHI dapat dijadikan pedoman bagi penegak hukum dan para pihak yang
memerlukannya.[30]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berlakunya peraturan UU No 14 Tahun
1970 merupakan akar dari Keputusan Menteri Agama No 6 Tahun 1980 tentang
Penyeragaman nama-nama pengadilan dalam lingkungan peradilan agama dengan
sebutan Pengadilan Agama pada tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama pada
tingkat banding
Guna menciptakan peradilan agama
yang mandiri dan sejajar dengan peradilan yang lain sebagai pelaksana kekuasaan
kehakiman, peradilan agama banyak mengalami proses panjang yaitu dari tahun
1975-1988. Departemen Kehakiman dengan koordinasi BPHN (Badan Pembinaan Hukum
Nasional) menyediakan anggaran untuk RUU-PA, yaitu dengan keluarnya:
1.
Surat Keputusan
Menteri Kehakiman No G-164 PR-09.03 tahun 1982 tentang pembentukan tim inti
pembahasan dan pembentukan
2.
Surat Keputusan
Menteri Kehakiman No G-25 PR-09.03 tahun 1983 tentang pembentukkan panitia
antar Departemen dan Perguruan Tinggi dan Panitia Penyusunan RUU tentang Acara
Peradilan Agama
3.
Surat Keputusan
Menteri Kehakiman No G-198 PR-09.03 tahun 1984 tentang Tim Pembahasan dan
Penyusunan RUU tentang Susunan Kekuasaan Badan Peradilan Agama yang dibiayai
dari dana BADKI Departemen Agama
Pada masa Orde
Baru kekuasaan dari lembaga peradilan (yudikatif) mengalami perkembangan yang
signifikan yaitu dengan di Undangkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang mana dalam Undang-Undang ini kekuasaan
kehakiman dilaksanakan oleh empat lingkungan peradilan yang ada yaitu Peradilan
Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara yang
semuanya berada di bawah Mahkamah Agung. Ketentuan UU No. 14/1970 tersebut
merupakan awal proses penyusunan RUU-PA. Menurut prosedur yang telah
ditetapkan dalam INPRES No. 15/1970 tentang tata cara mempersiapkan Rancangan
Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah RI, terlebih dahulu harus diajukan
permohonan izin prakarsa membuat Rancangan Undang-Undang kepada
presiden. Maka Menteri Agama K.H. Moh. Dachlan mengajukan permohonan membuat RUU tersebut kepada presiden dengn suratnya No. MA/242/197
tanggal 31 Agustus 1971. RUU yang diajukan prakarsanya adalah tentang Susunan
dan Kekuasaan serta Acara Peradilan Agama. Setahun kemudian, Menteri Agama
Prof. Dr. H. A. Mukti Ali mengirim surat lagi kepada presiden, menyusul
surat Menteri Agama sebelumnya, yaitu dengan suratnya tanggal 9 Agustus 1972
No. MA/288/1972
DAFTAR PUSTAKA
Aripin, Jaenal.JejakLangkahPeradilan Agama di
Indonesia, Jakarta: Kencana ,2013
BasiqDjajil, A. Peradilan Agama di Indonesia,
GemuruhnyaPolitikHukum (Hukum Islam, Hukum Barat, HukumAdat)
dalamRentangSejarahBersamaPasangSurutLembagaPeradilan Agama
HinggaLahirnyaPeradilanSyariat Islam Aceh, Jakarta: Kencana, 2006
DjamilLatif, M.KedudukandanKekuasaanPeradilan Agama
di Indonesia Jakarta: BulanBintang, 1983
Ichtijanto, H. SA. Ikatan Hakim Agama,
OrganisasiPerjuangan di BidangHukum, Jakarta: PanitiaMunasLuarBiasa IKAHA,
1995
KetetapanMajelisPermusyawaratan Rakyat Nomor
III/MPR/1999 tentangPertanggungjawabanPresidenRepublik Indonesia Prof. Dr.
Ing.BachruddinJusufHabibiedalamMajelisPermusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia, KetetapanMajelisPermusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
HasilSidangUmum MPR RI Tahun 1999, (Jakarta, Sekretariat MPR-RI, 1999) hal.
45-50. Di dalambukunyaSugihantoHasanuddien, Hukum&Peradilan Islam di Indonesia
(Ponorogo: STAIN Po PRESS 2007) hlm. 123.
koto, Alaiddin, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada
MananChikLamkuta, A. Hakim di LingkunganPeradilan
Agama, ArtikeldalamHarianPelita, terbitanhariRabutanggal 7 Maret 1984
Manan Abdul, Etika Hakim
dalamPenyelenggaraanPeradilan, SuatuKajiandalamSistemPeradilan Islam,
Jakarta; Kencana 2010
RahmanSaleh, Abdul.“Status,
komposisi, jumlahsertabeberapamasalahKomisiYudisial Indonesia di
Bidang SDM” Makalahdisampaikandalam Workshop Penyusunan Policy Paper dan
Draft RUU tentangKomisiYudisial, di Hotel Borobudur, Jakarta, 28 Agustus 2002
Roestam, St. Zafrullah Salim, M.S, Wijaya, Menulusuri
Perkembangan Sejarah Hukum dan Syari’at Islam, Jakarta: Kalam Mulia, Cet 1,
1992
Roihan, A. Rasyid. Hukum Acara Peradilan Agama,
Jakarta: Rajawali Press, 1992.
Sabiq,sayyid.FiqhusSunnah, Kuwait: Darul
Bayan,Cetakan V, 1971 JILID III
Sunaryo Mukhlas, Oyo.Perkembangan Peradilan Islam: dari Kahin di
Jazirah Arab ke peradilan Agama di Indonesia,Bogor: ghalia Indonesia, 2011
Tri Wahyudi, Abdul. S. Ag., S.H., Peradilan Agama di Indonesia,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
UU No 1 Tahun 1974TentangPerkawinan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
www.languagecommunity.blogspot.com/2010/05/ringkasan-sejarahPeradilan-Islam-di.html diunduh
pada pukul 21.18 WIB tanggal 2/03/2015.
www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/12/08/06/m8c43n-sejarah- peradilan-agama-di-indonesia, tanggal akses 25 Februari 2015
YahyaHarahap, M.BeberapaMasalahHukumAcarapadaPeradilan
Agama, Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 1993
[1]Tim
Penyusun, KBBI, 1990.
[2]Abdullah
Tri Wahyudi, S. Ag., S.H., Peradilan Agama di Indonesia,(Yogyakarta:
Pustaka Pelajar), hlm 1.
[3]Prof. Dr.
Alaiddin koto, M.A., Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada), hlm. 9-10.
[4]Abdullah
Tri Wahyudi, S. Ag., S.H., Peradilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar), hlm 2.
[5]Roihan, A.
Rasyid, Hukum Acara Peradilan
Agama, (Jakarta: Rajawali Press), 1992, cet. 2, hlm. 5-7
[6]St.
Roestam, Zafrullah Salim, M.S, Wijaya, Menulusuri Perkembangan Sejarah Hukum
dan Syari’at Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, Cet 1, 1992), hlm. 514.
[7] http://languagecommunity.blogspot.com/2010/05/ringkasan-sejarahPeradilan-Islam-di.html diunduh pada pukul 21.18 WIB tanggal 2/03/2015.
[8]Prof.
Dr. Alaiddin koto, M.A., Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada), hlm. 261.
[11]Abdul Manan, Etika Hakim
dalamPenyelenggaraanPeradilan, SuatuKajiandalamSistemPeradilan Islam,
(Jakarta; Kencana 2010) hlm 171
[12]www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/12/08/06/m8c43n-sejarah- peradilan-agama-di-indonesia, tanggal
akses 25 Februari 2015
[13]M. YahyaHarahap, BeberapaMasalahHukumAcarapadaPeradilan
Agama, (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 1993), hlm 57,
[14]JaenalAripin, JejakLangkahPeradilan Agama di
Indonesia, (Jakarta: Kencana 2013), hlm138.
[17]M. DjamilLatif, KedudukandanKekuasaanPeradilan Agama
di Indonesia(Jakarta: BulanBintang, 1983), hlm 9
[18]H. Ichtijanto, SA. Ikatan Hakim
Agama, OrganisasiPerjuangan di BidangHukum
, (Jakarta: PanitiaMunasLuarBiasSEJARAH PERKEMBANGAN PERADILAN AGAMA PADA MASA ORDE BARU (1980-1998)
MAKALAH
Diajukan guna memenuhi tugas dalam mata kuliah Peradilan Agama
Disusun Oleh:
Anwar Afandi (12340093 IH-C) 087838730009
Faiq Hidayat (1234099 IH-C) 083844399740
Dosen Pengampu:
Drs. Malik Ibrahim,
M.Ag
ILMU HUKUM
FAKULTAS
SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Secara jujur harus diakui bahwa sejarah Peradilan Agama di
Indonesia, sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakimantelah cukup memakan
waktu yang sangat panjang, sepanjang agama Islam itu sendiri eksis di
Indonesia. Dikatakan demikian, karena memang Islam adalah agama hukum, dalam
arti sebuah aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Allah Sang Pencipta (hablumminallah) yang sepenuhnya dapat
dilakukan oleh pemeluk agama Islam secara pribadi (person) dan juga mengandung kaidah-kaidah yang mengatur hubungan
manusia dengan manusia lain (hablumminannas)
dan dalam kehidupan masyarakat yang memerlukan bantuan penyelenggara negara
untuk melaksanakannya secara paripurna.
Peradilan Islam di Indonesia yang di
kenal dengan Peradilan Agama keberadaannya jauh sebelum Indonesia merdeka
karena ketika Islam mulai berkembang di Nusantara, Peradilan Agama juga telah
muncul bersamaan dengan perkembangan kelompok di kala itu, kemudian memperoleh
bentuk-bentuk ketatanegaraan yang sempurna dalam kerajaan-kerajaan Islam. Hal
ini karena masyarakat Islam sebagai anggota masyarakat adalah orang yang paling
mentaati hukum dalam pergaulan orang perseorangan maupun pergaulan umum.
Peradilan Agama yang telah lama dikenal masyarakat muncul sebelum datangnya
Penjajah Belanda yang banyak mengalami pasang surut hingga sekarang, pada
mulanya peradilan Islam sangat sederhana sesuai dengan kesederhanaan masyarakat
dan perkara-perkara yang diajukanya kepadanya pada awal islam, lalu berkembang
sesuai dengan kebutuhan hukum yang
berkembang dalam Masyarakat.
Peradilan agama pada masa
Orde Lama ke Orde Baru terjadi pada tahun 1967. Ketika itu Soeharto diangkat menjadi
Presiden. Dengan demikian, Soeharto member nama pemerintahannya dengan Orde Baru,
yaitu suatu tatanan atau sistem yang secara murni dan konsekuen melaksanakan Undang-Undang
Dasar 1945. Pada mulanya secara kelembagaan
Peradilan Agama berada di bawah lingkup Departemen Agama. Setelah diundangkan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Akhirnya Peradilan Agama dialihkan ke
dalam lingkungan Mahkamah Agung. Sejak saat itulah, Pengadilan Agama, baik dari
sisi kewenangan maupun kelembagaan diatur oleh sebuah peraturan perundangan
yang secara eksplisit merinci tentang pelayanan Peradilan yang standar yang
harus diberikan oleh lembaga Peradilan Agama tersebut.
Selanjutnya dalam makalah ini akan kami paparkan menegenai sejarah
perkembangan peradilan agama pada masa orde baru antara tahun 1980-1989,
sehingga kita dapat memahami tentang dinamika peradilan agama pada masa itu.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Peradilan Agama?
2. Bagaimana sejarah perkembangan Peradilan
Agama pada masa orde baru (1980-1989) ?
3. Bagaimana kompetensi dan kewenangan
Peradilan Agama pada masa tersebut?
4. Bagaimana kedudukan Hakim Peradilan Agama
pada masa itu terkait dengan tugas, dan wewenangnya?
5. Bagaimana Independensi Lembaga Peradilan
Agama pada masa tersebut?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Peradilan Agama
Setiap adanya masyarakat maka terdapat pula adanya aturan hukum
yang akan diberlakukan bagi seluruh anggota masyarakat. Dalam pemberlakuan
aturan hukum tentunya dibuat agar meminimalisir adanya suatu konflik antar
anggota masyarakat. Namun, aturan yang telah dibuat dan diberlakukan tidak
sepenuhnya dipatuhi. Adanya keinginan untuk memilliki hak yang lebih dan
tingkat kemiskinan yang tinggi merupakan salah faktor terjadi adanya benturan-benturan
antar manusia sebagai subyek hukum. Guna menyelesaikan perselihan antar anggota
masyarakat maka diperlukan suatu lembaga dimana mempunyai fungsi memutus
perselihan dan memberikan rasa keadilan antar pihak yang bersengketa.
Berangkat dari hal tersebut, maka lembaga yang berwenang dalam
penyelesaian perselihan dikenal dengan nama peradilan. Peradilan menurut kamus
besar bahasa Indonesia adalah segala sesuatu yang mengenai perkara pengadilan.[1]
Sedangkan menurut ahli hukum peradilan adalah kewenangan suatu lembaga untuk
menyelesaikan perkara untuk dan atas nama hukum demi tegaknya hukum dan
keadilan.[2]
Sementara dalam bahasa Arab, peradilan disebut al-qadha yang secara etimologi
mempunyai beberapa arti:
1.
Al-Faraagh
artinya putus atau selesai, sesuai dengan firman Allah QS. Al-Ahzab ayat 37.
2.
Al-Adaa’
artinya menunaikan atau membayar, seperti pada firman Allah QS. Al-Jumuah ayat
10.
3.
Al-Hukm artinya
mencegah atau menghalangi.
4.
Qadha adalah
memutuskan hukum atau membuat suatu ketetapan.[3]
Sehingga dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peradilan
adalah lembaga yang mempunyai kekuasaan umum untuk mengadili dan memutuskan
perkara antara dua orang atau lebih.
Peradilan sebagai lembaga
penyelesaian perselisihan telah lama dikenal di tengah masyarakat Indonesia
sejak lama, peradilan tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Peradilan
Pradata, yaitu suatu peradilan yang tugas dan kewenangannya mengurusi dan
mengangani perkara-perkara yang menjadi urusan raja.
2.
Peradilan Padu,
yaitu suatu peradilan yang mempunyai tugas dan wewenang mengurusi dan menangani
perkara-perkara yang bukan menjadi urusan raja.[4]
Penyebaran agama Islam yang telah
sampai ke wilayah Indonesia dan secara bertahap diterima oleh masyarakat
Indonesia. Agama Islam telah banyak mempengaruhi ajaran, budaya, nilai-nilai
norma masyarakat serta sitem peradilan yang sebelumnya berpaham ke ajaran Hindu
Budha. Peradilan Agama yang sebelumnya Peradilan Islam merupakan salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu
sebagaimana dimaksud dalam.Undang-Undang
ini” (Pasal 2 UU No. 3 Tahun 2006). Dalam hal
ini, Peradilan Agama hanya berwenang dibidang perdata tertentu saja, tidak
pidana dan pula hanya untuk orang-orang Islam di Indonesia, dalam perkara-perkara
perdata Islam tertentu, tidak mencakup seluruh perdata Islam.[5]
B.
Sejarah dan
Perkembangan
Peradilan Agama sebagai institusi
atau lembaga peradilan di Indonesia sangatlah penting dalam penegakkan
hukum di Indonesia khususnya dalam lingkup hukum Islam. Hal tersebut terbukti
dengan adanya pelaksanaan kekuasaan kehakiman dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia dengan berlakunya UU No 14 Tahun 1970. Berlakunya peraturan UU No 14
Tahun 1970 merupakan akar dari Keputusan Menteri Agama No 6 Tahun 1980 tentang
Penyeragaman nama-nama pengadilan dalam lingkungan peradilan agama dengan
sebutan Pengadilan Agama pada tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama pada
tingkat banding.
Guna menciptakan peradilan agama
yang mandiri dan sejajar dengan peradilan yang lain sebagai pelaksana kekuasaan
kehakiman, peradilan agama banyak mengalami proses panjang yaitu dari tahun
1975-1988. Departemen Kehakiman dengan koordinasi BPHN (Badan Pembinaan Hukum
Nasional) menyediakan anggaran untuk RUU-PA, yaitu dengan keluarnya:
1.
Surat Keputusan
Menteri Kehakiman No G-164 PR-09.03 tahun 1982 tentang pembentukan tim inti
pembahasan dan pembentukan
2.
Surat Keputusan
Menteri Kehakiman No G-25 PR-09.03 tahun 1983 tentang pembentukkan panitia
antar Departemen dan Perguruan Tinggi dan Panitia Penyusunan RUU tentang Acara
Peradilan Agama
3.
Surat Keputusan
Menteri Kehakiman No G-198 PR-09.03 tahun 1984 tentang Tim Pembahasan dan
Penyusunan RUU tentang Susunan Kekuasaan Badan Peradilan Agama yang dibiayai
dari dana BADKI Departemen Agama.[6]
Kemudian setelah
diundangkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Akhirnya
Peradilan Agama dialihkan ke dalam lingkungan Mahkamah Agung yang sebelumnya di
bawah Departemen Agama. Sejak saat itulah, Pengadilan Agama, baik dari sisi
kewenangan maupun kelembagaan diatur oleh sebuah peraturan perundangan yang
secara eksplisit merinci tentang pelayanan Peradilan yang standar yang harus
diberikan oleh lembaga Peradilan Agama tersebut. Namun demikian, kewenangan
yang dimiliki Peradilan Agama ketika itu memang masih sangat terbatas.
Penyelesaian sengketa yang menjadi kompetensi Peradilan Agama masih berkisar
dan terpusat pada penyelesaian masalah nikah, talaq, cerai dan rujuk.
Masuknya pihak
eksekutif ke dalam kekuasaan kehakiman disinyalir sebagai salah satu sebab
mengapa kekuasaan kehakiman di negeri ini tidak independen. Alasan itulah
antara lain yang menyebabkan status dan kedudukan Peradilan Agama belum bisa
dikatakan sebagai Peradilan yang independen, mandiri, dan kokoh, selama masa
Orde Baru. Untuk memperbaiki kondisi tersebut, pada tanggal 8 Desember 1988
Presiden RI menyampaikan Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama (RUU PA)
kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang,
akhirnya RUU PA tersebut disahkan menjadi UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama.[7]
C.
Kompetensi dan
Kewenangan Peradilan Agama
Dengan berlakunya UU No 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama maka dalam kewenangannya sangatlah mempunyai peran
penting dalam penegakkan hukum Islam bagi masyarakat Islam di Indoensia. Selain
itu, dengan perumusan KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang meliputi bidang
perkawinan, kewarisan, dan perwakafan, maka salah satu masalah yang dihadapi
oleh Peradilan Agama yaitu kenaekaragaman dan ketentuan hukum dapat teratasi.
Berkenaan dengan hal tersebut, maka dalam uraian berkutnya dikemukakan tentang
UU No 7 tahun 1989 serta adanya Intruksi Presiden (Inpres) No 1 tahun 1991
tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
Undang-Undang no 7 tahun 1989
merupakan bentuk pelaksanaan atas Undang-Undang No 14 tahun 1970 yang secara
umum isi dari UU No 7 tahun 1989 memuat perubahan tentang penyelanggaraan PADI,
yaitu:[8]
1.
Perubahan
tentang dasar hukum pelenggaraan PADI
2.
Perubahan
tentang kedudukan PADI dalam tata peradilan nasional
3.
Perubahan
tentang kedudukan hakim Peradilan Agama
4.
Peruabahan
tentang kekuasaan pengadilan dalam lingkungan PADI
5.
Perubahan
tentang hukum acara Peradilan Agama
6.
Perubahan
tentang administratif Peradilan Agama
7.
Perubahan
tentang perlindungan terhadap wanita.
Selanjutnya dikeluarkannya Inpres No
1 tahun 1991 tentang Penyelenggaraan Kompilasi Hukum Islam berhubungan dengan
kemajemukan hukum dalam sistem hukum nasional. Dengan adanya peraturan tersebut
menjadikan Peradilan Agama dapat diakui keberadaannya dimana Peradilan Agama
mempunyai kewenangan menangani persengketaan di bidang perkawinan, kewarisan
dan perwakafan. Walaupun KHI bukanlah suatu Undang-Undang, namun merupakan
petunjuk terhadap Undang-Undang dengan adanya Inpres No 1 tahun 1991 yang dapat
diterapkan oleh para hakim dalam yurisprudensi Peradilan Agama dalam memutus
perkara-perakara yang dihadapi dalam ruang lingkup hukum keluarga Islam.
D.
Kedudukan, Kekuasaan dan Kewenangan Hakim
Peradilan Agama
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai
perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-undang ini. Kekuasaan
Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama,
Pengadilan Tinggi Agama. Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama
berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.[9]
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24 menyebutkan
bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan Mahkamah Agung RI dan lain-lain badan
peradilan menurut undang-undang. Sebagai realisasi pasal 24 Undang-Undang Dasar
1945 itu, maka ditetapkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Titik awal pembaruan peradilan
agama baru dimulai sejak ditetapkan UU No. 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, pemerintah lebih mempertegas
keberadaan peradilan agama. Paling tidak, ada dua prinsip pokok pembaruan
peradilan agama yang diatur UU No. 14 Tahun 1970. Pertama, menetapkan Peradilan
Agama sebagai salah satu lingkungan badan peradilan negara disamping tiga badan
peradilan lainnya. Kedua, penghapusan sistem “fiat eksekusi”[10]
oleh peradilan umum atas putusan peradilan agama. Sehingga menyebabkan
kedudukan peradilan agama yang “inferior ” di hadapan peradilan umum.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 ini telah
menempatkan Peradilan Agama sebagai salah satu lingkungan pelaksanaan kekuasaan
kehakiman, secara konstitusional, Pengadilan Agama merupakan salah satu
badan peradilan yang mandiri dan sederajat dengan lembaga perdilan yang
lain. Wewenang Peradilan Agama adalah menerima, memeriksa, mengadili dan
menyelesaikan perkara tertentu dan bagi kelompok tertentu, yaitu
perselisihan di antara orang-orang yang beragama Islam. Ditetapkan pula
bahwa pembinaan dan pengawasan fungsi Pengadilan Agama dilaksanakan oleh
Mahkamah Agung RI, sedangkan organisasi, administrasi, finansial berada
di bawah Departemen Agama RI.[11]
Kemudian, peradilan agama lebih diperkuat lagi
dengan keluarnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1/1977 tentang Kasasi bagi
putusan Pengadilan Agama. Penyeragaman istilah untuk seluruh Indonesia baru
dilakukan setelah keluarnya Surat Keputusan (SK) Menteri Agama Nomor 6 Tahun
1980, yaitu Pengadilan Agama untuk pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan
Tinggi Agama untuk tingkat banding. Pada 29 Desember 1989, Presiden Republik
Indonesia mengesahkan UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang dimuat
dalam Lembaran Negara RI Nomor 49 Tahun 1989 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor
3400.[12]
Sehubungan dengan hal tersebut di atas,
pembinaan Peradilan Agama diarahkan untuk menjamin penegakan, pelayanan dan
kepastian hukum dalam bidang kekeluargaan bagi masyarakat yang beragama
islam. Disamping itu, pembinaan Peradilan Agama juga diarahkan untuk
meningkatkan keterpaduan dalam pembinaan dan penyelenggaraan Peradilan Agama
dengan ketiga badan peradilan yang lain. Kemudian disisipkan pula hakim
Peradilan Agama yang berkualitas dan profesional dalam penegakan hukum,
kepastian hukum, dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Suasana dan peran
Peradilan Agama pada pasca-Stbl. Nomor 116, yurisdiksinya tetap kabur balik
dalam bidang perkawinan dan kewarisan. Demikian juga dalam pasal 63 Ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 masih ada kesan melecehkan Pengadilan Agama,
yaitu putusannya mesti harus dikukuhkan oleh Pengadilan Negeri, seolah-olah
Peradilan Agama bukan peradilan yang mandiri.[13]
Setelah disahkannya UU No. 7 Tahun 1989,
peradilan agama memiliki UU yang lebih maju dari ketentuan-ketentuan UU yang
ada sebelumnya.[14]Namun,
dari segi aspek kedudukan dan status sebagai satu kesatuan pelaksana kekuasaan
kehakiman di negara hukum Indonesia, ia belum bisa dikatakan mandiri,
karena masih berada di bawah Departemen Agama sebagai pelaksana kekuasaan
eksekutif. Akibatnya, proses dan perjalanan peradilan agama menjadi tidak
normal.[15]
Bukan saja karena adanya intervensi dari
kekuatan politik di eksekutif, tetapi juga perhatian pihak eksekutif
terhadap peradilan agama jauh dari memadai. Menurut sumber dari Direktorat
Pembinaan Badan Peradilan Agama dalam periode tahun 1970-1989 baru ada 158
Pengadilan Agama dan 10 Pengadilan Tingkat Banding, hakim agama baru ada
sebanyak 155 orang sehingga tugas-tugas dalam penyelesaian perkara dibantu oleh
hakim honorer dari para kiai dan para tokoh masyarakat yang ahli dalam bidang
hukum Islam. Hukum acara masih berserak dan terserak dalam berbagai peraturan
perundang-undangan yang ditinggal pemerintah kolonial Belanda yang masih
dinyatakan berlaku.[16]
Perlu dicatat bahwa pada masa-masa awal
Peradilan Islam itu, wewenangnya sangat luas dan tidak terbatas hanya pada
urusan ahwal al-syakhsiyah saja, seperti nikah, talak rujuk, waris, hadanah,
tetapi juga mencakup hukum pidana (jinayah), sehingga Peradilan Islam ketika
itu betul- betul merupakan peradilan umum bagi umat Islam.[17]Dengan
diangkatnya Hakim Agama Honorer pada Pengadilan Agama, maka pada saat itu ada
dua macam status hakim pada Pengadilan Agama yaitu, (1) Hakim Agama Tetap,
yaitu hakim yang diangkat dari lulusan fakultas syariah, minimal lulusan PHIN
yang diangkat langsung oleh Menteri Agama RI; (2) Hakim Agama Honorer, yaitu hakim yang direkrut dari para
Alim Ulama atau orang yng dipandang mampu dalam bidang hukum Islam, yang
mengangkatnya dilakukan oleh Ketua Pengadilan Tingkat Banding atas nama Menteri
Agama RI. Honorarium mereka dibayar oleh negara, disamping mendapat uang sidang
seperlunya dari Pengadilan Agama tempat mereka bersidang.
Sehubungan dengan tradisi majelis sidang yang ditetapkan dalam
Stbl. 1957, Nomor 116 dan Nomor 610, juga dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45
Tahun 1957, maka Menteri Agama RI mengangkat hakim honorer agar sidang-sidang
Pengadilan Agama memenuhi kuorum majelis. Jabatan wakil ketua pada Pengadilan
Agama belum terisi karena personelnya belum ada, maka wakil ketua honorer
diangkat dengan tugas apabila ketua berhalangan sidang, maka sidang-sidang
Pengadilan Agama dapat dipimpin oleh wakil ketua honorer tersebut. Walaupun
demikian, kenyataan menunjukan lain yaitu, kesempatan mereka untuk menghadiri
sidang Pengadilan Agama menjadi tertunda, dan lambat penyelesaiannya.
Antisipasi kelembagaan terhadap kondisi ini, maka Mahkamah Agung RI dengan
suratnya Nomor 0/TUADA-AG/III/-Um/ 1987 tanggal 10 Januari 1987 mengijinkan
untuk dilaksanakan sidanag-sidang di Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi
Agama dengan hakim tunggal.
Atas dasar keputusan Musyawarah Alim Ulama Terbatas itu Menteri
Agama RI mengngkat wanita menjadi hakim pada Pengdilan Agama. Bahkan sekarang
ada wanita hakim Pengadilan Agama menjadi Ketua Pengadilan Agama. Sebenarnya
apa yang dilaksanakan oleh Menteri Agama RI itu bukanlah hal yang baru,
sebab jauh sebelumnya Departemen Agama telah melaksanakan Kursus Calon Hakim
Agama Wanita berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI atas desakan pihak Kongres
Wanita Indonesia (KWI) kedua di Bandung pada tanggal 22-24 November 1956. Dalam
merekrut hakim agama wanita pada waktu itu mata pelajaran yang di uji adalah
Wanita
Islam, Wanita dalam Hukum Adat, Sistem Pengadilan di Indonesia, dan Pengantar
Ilmu Hukum.[18]
Usaha kerja sama antara Departemen Agama RI dan
Mahkamah Agung RI berpengaruh besar terhadap badan Pengadilan Agama. Pada tahap
pertama di tunjuk beberapa Hakim Agung untuk memeriksa dan memutus
perkara kasasi dari lingkungan Peradilan Agama, yaitu, Ny. Sri Widoyanti
Wiratmo Sukito, Z. Asikin Kusumaatmadja, Ronindyopuro, dan Busthanul Arifin.
Setelah itu lahir Keputusan Presiden Nomor 33/M/1982 tanggal 22 Februari 1982
tentang Pengangkatan Prof. H. Bustanul Arifin, SH. Sebagai Ketua Muda Mahkamah
Agung RI Urusan Lingkungan Peradilan Agama.
Efektivitas pola strategi pembinaan tersebut
mendorong diadakan rapat kerja sama antara Mahkamah Agung RI dengan Departemen
Agama RI yang kedua. Beberapa hal yang perlu dicatat sebagai realisasi dan
keputusan kerja tersebut adalah: (1) penandatanganan empat buah Surat Keputusan
Bersama (SKB) antara Ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI pada
Januari 1983. Salah satu SKB tersebut adalah tentang pengawasan terhadap hakim
Peradilan Agama dalam rangka meningkat disiplin dan wibawa hakim; (2)
pembentukan tim inti pembahasan dan penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang
Acara Paeradilan Agama, pembentukan tim ini dilaksanakan dengan Keputusan
Menteri Kehakiman RI Nomor G. 164, PR. 0903 Tahun 1982, kemudian dikuatkan
dengan izin Sekretaris Negara RI Nomor 736/-Mensesneg/9/1983 tanggal 13
September 1983.
Langkah strategis lain yang dirancang sebagai
tindak lanjut hasil raker tadi adalah pembentukan hukum materil yang akan
dijadikan pegangan bagi hakim Pengadilan Agama. Ide pembentukan hukum materil
dalam wujud Kompilasi Hukum Islam (KHI) timbul setelah beberapa tahun setelah
Mahkamah Agung RI membina bidang teknis yutisial Peradilan Agama. Disana
disarankan adanya beberapa kelemahan antara lain soal hukum Islam yang tetap di
lingkungan Peradilan Agama cenderung beragam disebabkan oleh perbedaan pendapat
ulama dalam hampir setiap persoalan. Untuk itu diperlukan satu buku yang
menghimpun semua hukum yang dapat dijadikan pegangan oleh hakim Peradilan
Agama dalam melaksanakan tugasnya, sehingga terjamin adanya kesatuan hukum.
Langkah-langkah strategis itu diorganik dengan pembentukan keputusan bersama
Ketua Mahkamah Agung RI dengan Menteri Agama RI Nomor 07/KMA/1985 dan Nomor 25
Tahun 1985 tanggal 15 Maret 1985 tentang Penunjukan Pelaksanaan Proyek
Pembangunan Hukum Islam Melalui Yurisprudensi.
Setelah mengalami proses kerja yang saksama dan
memakan waktu yang cukup panjang, maka rancangan Kompilasi Hukum Islam tersusun
dan diterima baik dalam lokakarya yang dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 2-5
Februari 1988. Kompilasi Hukum Islam terdiri dari tiga buku, yaitu buku
pertama Hukum Perkawinan, kedua Hukum Kewarisan dan buku ketiga memuat
Hukum Perwakafan. Presiden RI dengan Intruksi Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10
Juni 1991 memerintahkan Menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum
Islam itu kepada seluruh instansi pemerintah, dan masyarakat yang
memerlukannya.
Dengan keluarnya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, tidak ada masalah lagi tentang: (1) Wewenang; (2)
Hukum Acara; (3) Susunan Peradilan Agama. Dan kekurangan lainnya seperti hukum
material tertulis yang disusun secara sistematis dalam bahasa dan Peraturan
Perundang-undangan yang dapat dijadikan pegangan oleh semua pihak yang mencari
keadilan di Pengadilan Agama, juga telah lahir dalam bentuk instruksi presiden
No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.[19]
Tentang kedudukan Hakim Peradilan Agama
dalam kurun waktu ini, dikemukakan oleh Purwo S. Gandasubrata, Wakil Ketua
Mahkamah Agung RI dalam simposium Sejarah Peradilan Agama tanggal 5 April 1982
di Jakarta bahwa Hakim Peradilan Agama sekarang bukan lagi “Penghulu Rechter”
zaman dahulu. Sesuai dengan pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dimana
dijelaskan bahwa Peradilan Agama termasuk salah satu lingkungan peradilan yang
diakui negara, maka hakim yang bekerja di Peradilan Agama adalah hakim negara
dengan tugas mengadili perkara tertentu yang masuk kewenangannya.[20]
Keluarnya Instruksi Presiden RI Nomor 12 tahun
1970 tentang Penegasan Kedudukan Hakim, maka ada sementara pihak yang
mempertanyakan apakah hakim agama termasuk hakim negara? Sehubungan dengan hal
ini Kepala Kantor Urusan Pegawai dalam rapat kerja yang dilaksanakan pada bulan
September 1970 di Jakarta menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hakim adalah
hakim pada Pengadilan Negeri, Hakim Pengadilan Agama termasuk juga dalam
ketentuan instruksi tersebut, apabila berstatus sebagai pegawai negeri
dan mendapat gaji dari kas negara.
Kedudukan tadi dipertegas lagi oleh Ketua
Mahkamah Agung RI dengan Departemen Agama RI dengan SKB Nomor KMA/00/1/1983 dan
Nomor 4 Tahun 1983, di mana dikemukakan bahwa perlu adanya usaha membantu
memperlancar rekrutmen hakim pada Pengadilan Agama sebagai hakim negara tidak
perlu di persoalkan lagi. Kedudukannya sama dengan hakim yang bekerja di
lingkungan peradilan yang lain.[21]
Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan
salah satu pilar bagi negara yang berlandaskan sistem demokrasi dan negara
hukum.[22]Kekuasaan
kehakiman yang bebas dan tidak memihak tidak hanya diartikan bebas dari
pengaruh kekuasaan eksekutif, tetapi juga bebas dari gangguan dalam
melaksanakan tugasnya. Kekuasaan kehakiman juga merupakan instrument
penting untuk menjamin hak-hak asasi dalam mempertahankan keadilan yang
merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam demokrasi.
Kekuasaan
kehakiman bukan suatu lembaga yang dapt menuntaskan segala persoalan yang
menyangkut kekuasaan kehakiman. Beberapa aspek yang sering menjadi persoalan di
dalam kekuasaan kehakiman adalah menyangkut pengangkatan, promosi, mutasi
pemberhentian, dan tindakan atau hukuman terhadap hakim.
Perlunya
suatu lembaga khusus yang memiliki fungsi-fungsi tertentu yang berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman sesungguhnya bahkan merupakan gagasan yang benar-benar baru
di Indonesia. Pada tahun 1968, ketika dilaksanakan diskusi membahas RUU tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sempat diusulkan pembentukan
lembaga yang diberi nama Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH). Majelis
ini mempunyai fungsi untuk memberikan pertimbangan dan mengambil keputusan
terakhir mengenai saran-saran atau usul-usul yang berkaitan dengan pengangkatan,
promosi, mutasi pemberhentian, dan tindakan atau hukuman jabatan hakim, yang
diajukan baik oleh Mahkamah Agung maupun Departemen Kehakiman.[23]
Hakim
sebagai pebegak hukum dan keadilan berkewajiban mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Tugas tersebut dibebankan kepada
hakim Peradilan Agama agar dapat memutuskan perkara yang diajukan
kepadanya dengan adil dan benar. Mukti Ali,
ketika menjabat Menteri Agama RI pada penutupan latihan hakim agama
mengemukakan bahwa hakim agama harus dapat menggali, memahami, dan mengahayati
hukum yang hidup dalam masyarakat dengan cara meningkatkan ilmu pengetahuan.
Sangat besar bahayanya apabila hakim tidak memiliki ilmu pengetahuan yang
cukup.[24]
Dalam
kaitan ini dimana Rasulullah SAW mengatakan bahwa hakim itu ada tiga golongan,
satu golongan dimasukan kedalam surga, dua golongan dimasukan kedalam neraka.
Hakim yang memegang kebenaran itulah dimasukan kedalam surga, hakim yang
mengetahui kebenaran tapi berlaku curang dalam memberikan keputusan hukum
terhadap suatu perkara, dimasukan kedalam neraka. Begitu pula apabila ia
dalam mengambil keputusan lalu ia berijtihad, kemudian ternyata ijtihadnya itu
benar, maka ia berhak mendapat dua pahala, tetapi jika ia bersalah mendapat
satu pahala.[25]Dengan
demikian, hakim Peradilan Agama dalam menciptakan hukum-hukum baru tidak boleh
lepas dari ijtihad sebagaimana yang telah ditentukan oleh hukum syara’ ,
sehingga putusan-putusan yang ditetapkan mempunyai bobot keadilan yang dapat
diandalkan. Putusan yang ditetapkan oleh Hakim Peradilan Agama itu dapat
menentukan isi hukum yang hidup di Indonesia yang sesuai dengan falsafah
Pancasila.
E.
Independensi dan kesejajaran Peradilan Agama
Lembaran baru
bagi pencerahan dunia peradilan agama di Indonesia mulai tergores karena pada
tanggal 29 Desember 1989 RUUPA (Rancanggan Undang-Undang Peradilan Agama) yang
sebelumnya ditunggu-tunggu dengan pengharapan yang beragam, disahkan menjadi
Undang-Undang Negara, yaitu UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Menurut
Ismail Sunny, UU. No 7 Tahun 1989 itu merupakan bukti nyata besarnya pemahaman
dan perhatian pemerintah terhadap aspirasi umat islam, yang mendambakan adanya
undang-undang yang secara khusus mengatur tentang peradilan agama.[26]
Lahirnya UU No.
7 Tahun 1989 tersebut memebawa pengaruh yang sangat besar terhadap keberadaan
peradilan agama di Indonesia sehingga menjadi mandiri dan berdiri sam tinggi
dengan pengadilan-pengadilan lainnya. Undang-undang tersebut bukan saja hanya
mengatur tentang susunan, kekuasaan dan acara pengadilan dalam lingkungan
peradilan agama, tetapi yang sangat mendasar adalah dicabutnya pelbagai aturan
yang selama ini mengganjal, baik mengenai pembatasan jangkauan dan penerapan
hukum islam bagi umat islam di pengadilan agama, seperti yang tertera dalam
pasal 4 ayat 2 PP No 45 Tahun 1957 (masih kuatnya pengaruh teori reseptie-hukum
islam baru bisa diterapkan apabila sesuai dengan hukum adat), maupun mengenai
ketergantungan pengadilan agama kepada pengadilan negeri berkenaan dengan
pengukuhan sebagaimana tertera dalam pasal 63 ayat (2) UU No. ! Tahun 1974.
Melalui pasal
107 UU No. 7 tahun 1989, keberadaan staatsblad 1882 Nomor 152 tentang peradilan
agama di Jawa Timur dan Madura, staatsblad 1937 Nomor 116 dan 610 tentang
Mahkamah Islam Tinggi di jawa dan Madura, Staatblad 1937 Nomor 638 dan 639
tentang kerapatan Qadhi dan kerapatamn Qadhi besar di sebagian residensi
kalimantan Selatan dan Timur, PP Nomor 45 Tahun 1957 tentang pembentukan
mahkamah syari'ah di luar Jawa dan Madura, dan pasal 63 ayat (2) UU No. 1 tahun
1974 tentang pengukuhan Keputusan Pengadilan Agama oleh pengadilan Negeri, [27]
secara yuridis tidak berlaku lagi . dengan demikian , peradila agama sebagai
peradilan khusus yang mengadili perkara-perkara tertentu dan mengenai kelompok
masyarakat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama islam menjadi sejajar
dengan peradilan-peradilan lainnya di Indonesia (PN, PTUN, dan PM)
Dengan
berlakunya UU No.7 Tahun 1989, hierarki pengadilan dalam lingkungan peradilan
agama memiliki hubungan ganda, yakni : (1) hubungan fungsional dengan Mahkamah
Agung, yaitu segi yuridiksi-administratif peradilan; (2) hubungan struktural
dengan departemen Agama, yaitu segi administrasi umum, yang meliputi organisasi
kelembagaan , kepegawaian, sarana, dan finansial. UU NO. 7 Tahun 1989 ini
sekaligus menghapus sebutan pengadilan agama yang kerempeng, "hidup segan
mati pun tak mau". Karena Pengadilan Agama telah memiliki regulasi yang
kuat, yang mengatur tentang; susunan, kekuasaan, dan hukum acaranya.[28]
Kelengkapan
susunan yang legitimate serta kekuasaan dan kewenangan yang jelas yang dimiliki
peradilan agama itu dilengkapai pula dengan adanya sumber hukam acara seperti
disebutkan dalam pasal 54 UU No. 7 Tahun
1989, yaitu hukum acara perdata sebagaimana yang berlaku dalam lingkungan
peradilan umum. Disamping itu, dimiliki pula hukum acara yang secara khusus
berlaku bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan agama yang terdapat dalam
pasal 55 sampai dengan pasal 91 UU No. 7 tahun 1989. Dengan adanya ketentuan hukum
yang dijadikan rujukan dalam beracara, maka hakim pengadilan dalam lingkungan
peradilan agama tidak lagi sembarangan dalam memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara , tetapi dikawal oleh mekanisme dan aturan permainan yang
harus diikuti sebagaimana halnya yang sudah berlaku pada pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum.[29]
Posisi
peradilan agama itu semakin lengkap
dengan lahirnya Inpres No 1 tahun 1991 tentang Pemasyarakatan kompilasi Hukum Islam yang berlaku sebagai hukum materiil bagi
pengadilan agama . Pemberlakuan Inpres No 1 tahun 1991 itu sendiri diatur dengan keluarnay Keputusan
Menteri Agama No 154 tahun 1992, yang salah satu konsiderannya menyatakan,
bahwa KHI dapat dijadikan pedoman bagi penegak hukum dan para pihak yang
memerlukannya.[30]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berlakunya peraturan UU No 14 Tahun
1970 merupakan akar dari Keputusan Menteri Agama No 6 Tahun 1980 tentang
Penyeragaman nama-nama pengadilan dalam lingkungan peradilan agama dengan
sebutan Pengadilan Agama pada tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama pada
tingkat banding
Guna menciptakan peradilan agama
yang mandiri dan sejajar dengan peradilan yang lain sebagai pelaksana kekuasaan
kehakiman, peradilan agama banyak mengalami proses panjang yaitu dari tahun
1975-1988. Departemen Kehakiman dengan koordinasi BPHN (Badan Pembinaan Hukum
Nasional) menyediakan anggaran untuk RUU-PA, yaitu dengan keluarnya:
1.
Surat Keputusan
Menteri Kehakiman No G-164 PR-09.03 tahun 1982 tentang pembentukan tim inti
pembahasan dan pembentukan
2.
Surat Keputusan
Menteri Kehakiman No G-25 PR-09.03 tahun 1983 tentang pembentukkan panitia
antar Departemen dan Perguruan Tinggi dan Panitia Penyusunan RUU tentang Acara
Peradilan Agama
3.
Surat Keputusan
Menteri Kehakiman No G-198 PR-09.03 tahun 1984 tentang Tim Pembahasan dan
Penyusunan RUU tentang Susunan Kekuasaan Badan Peradilan Agama yang dibiayai
dari dana BADKI Departemen Agama
Pada masa Orde
Baru kekuasaan dari lembaga peradilan (yudikatif) mengalami perkembangan yang
signifikan yaitu dengan di Undangkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang mana dalam Undang-Undang ini kekuasaan
kehakiman dilaksanakan oleh empat lingkungan peradilan yang ada yaitu Peradilan
Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara yang
semuanya berada di bawah Mahkamah Agung. Ketentuan UU No. 14/1970 tersebut
merupakan awal proses penyusunan RUU-PA. Menurut prosedur yang telah
ditetapkan dalam INPRES No. 15/1970 tentang tata cara mempersiapkan Rancangan
Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah RI, terlebih dahulu harus diajukan
permohonan izin prakarsa membuat Rancangan Undang-Undang kepada
presiden. Maka Menteri Agama K.H. Moh. Dachlan mengajukan permohonan membuat RUU tersebut kepada presiden dengn suratnya No. MA/242/197
tanggal 31 Agustus 1971. RUU yang diajukan prakarsanya adalah tentang Susunan
dan Kekuasaan serta Acara Peradilan Agama. Setahun kemudian, Menteri Agama
Prof. Dr. H. A. Mukti Ali mengirim surat lagi kepada presiden, menyusul
surat Menteri Agama sebelumnya, yaitu dengan suratnya tanggal 9 Agustus 1972
No. MA/288/1972
DAFTAR PUSTAKA
Aripin, Jaenal.JejakLangkahPeradilan Agama di
Indonesia, Jakarta: Kencana ,2013
BasiqDjajil, A. Peradilan Agama di Indonesia,
GemuruhnyaPolitikHukum (Hukum Islam, Hukum Barat, HukumAdat)
dalamRentangSejarahBersamaPasangSurutLembagaPeradilan Agama
HinggaLahirnyaPeradilanSyariat Islam Aceh, Jakarta: Kencana, 2006
DjamilLatif, M.KedudukandanKekuasaanPeradilan Agama
di Indonesia Jakarta: BulanBintang, 1983
Ichtijanto, H. SA. Ikatan Hakim Agama,
OrganisasiPerjuangan di BidangHukum, Jakarta: PanitiaMunasLuarBiasa IKAHA,
1995
KetetapanMajelisPermusyawaratan Rakyat Nomor
III/MPR/1999 tentangPertanggungjawabanPresidenRepublik Indonesia Prof. Dr.
Ing.BachruddinJusufHabibiedalamMajelisPermusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia, KetetapanMajelisPermusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
HasilSidangUmum MPR RI Tahun 1999, (Jakarta, Sekretariat MPR-RI, 1999) hal.
45-50. Di dalambukunyaSugihantoHasanuddien, Hukum&Peradilan Islam di Indonesia
(Ponorogo: STAIN Po PRESS 2007) hlm. 123.
koto, Alaiddin, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada
MananChikLamkuta, A. Hakim di LingkunganPeradilan
Agama, ArtikeldalamHarianPelita, terbitanhariRabutanggal 7 Maret 1984
Manan Abdul, Etika Hakim
dalamPenyelenggaraanPeradilan, SuatuKajiandalamSistemPeradilan Islam,
Jakarta; Kencana 2010
RahmanSaleh, Abdul.“Status,
komposisi, jumlahsertabeberapamasalahKomisiYudisial Indonesia di
Bidang SDM” Makalahdisampaikandalam Workshop Penyusunan Policy Paper dan
Draft RUU tentangKomisiYudisial, di Hotel Borobudur, Jakarta, 28 Agustus 2002
Roestam, St. Zafrullah Salim, M.S, Wijaya, Menulusuri
Perkembangan Sejarah Hukum dan Syari’at Islam, Jakarta: Kalam Mulia, Cet 1,
1992
Roihan, A. Rasyid. Hukum Acara Peradilan Agama,
Jakarta: Rajawali Press, 1992.
Sabiq,sayyid.FiqhusSunnah, Kuwait: Darul
Bayan,Cetakan V, 1971 JILID III
Sunaryo Mukhlas, Oyo.Perkembangan Peradilan Islam: dari Kahin di
Jazirah Arab ke peradilan Agama di Indonesia,Bogor: ghalia Indonesia, 2011
Tri Wahyudi, Abdul. S. Ag., S.H., Peradilan Agama di Indonesia,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
UU No 1 Tahun 1974TentangPerkawinan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
www.languagecommunity.blogspot.com/2010/05/ringkasan-sejarahPeradilan-Islam-di.html diunduh
pada pukul 21.18 WIB tanggal 2/03/2015.
www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/12/08/06/m8c43n-sejarah- peradilan-agama-di-indonesia, tanggal akses 25 Februari 2015
YahyaHarahap, M.BeberapaMasalahHukumAcarapadaPeradilan
Agama, Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 1993
[1]Tim
Penyusun, KBBI, 1990.
[2]Abdullah
Tri Wahyudi, S. Ag., S.H., Peradilan Agama di Indonesia,(Yogyakarta:
Pustaka Pelajar), hlm 1.
[3]Prof. Dr.
Alaiddin koto, M.A., Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada), hlm. 9-10.
[4]Abdullah
Tri Wahyudi, S. Ag., S.H., Peradilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar), hlm 2.
[5]Roihan, A.
Rasyid, Hukum Acara Peradilan
Agama, (Jakarta: Rajawali Press), 1992, cet. 2, hlm. 5-7
[6]St.
Roestam, Zafrullah Salim, M.S, Wijaya, Menulusuri Perkembangan Sejarah Hukum
dan Syari’at Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, Cet 1, 1992), hlm. 514.
[7] http://languagecommunity.blogspot.com/2010/05/ringkasan-sejarahPeradilan-Islam-di.html diunduh pada pukul 21.18 WIB tanggal 2/03/2015.
[8]Prof.
Dr. Alaiddin koto, M.A., Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada), hlm. 261.
[11]Abdul Manan, Etika Hakim
dalamPenyelenggaraanPeradilan, SuatuKajiandalamSistemPeradilan Islam,
(Jakarta; Kencana 2010) hlm 171
[12]www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/12/08/06/m8c43n-sejarah- peradilan-agama-di-indonesia, tanggal
akses 25 Februari 2015
[13]M. YahyaHarahap, BeberapaMasalahHukumAcarapadaPeradilan
Agama, (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 1993), hlm 57,
[14]JaenalAripin, JejakLangkahPeradilan Agama di
Indonesia, (Jakarta: Kencana 2013), hlm138.
[17]M. DjamilLatif, KedudukandanKekuasaanPeradilan Agama
di Indonesia(Jakarta: BulanBintang, 1983), hlm 9
[18]H. Ichtijanto, SA. Ikatan Hakim
Agama, OrganisasiPerjuangan di BidangHukum
, (Jakarta: PanitiaMunasLuarBiasa
IKAHA, 1995), hlm. 43
[19]A. BasiqDjajil, Peradilan Agama di
Indonesia, GemuruhnyaPolitikHukum (Hukum Islam, Hukum Barat, HukumAdat)
dalamRentangSejarahBersamaPasangSurutLembagaPeradilan Agama
HinggaLahirnyaPeradilanSyariat Islam Aceh, (Jakarta: Kencana, 2006) hal 19
[20]A. MananChikLamkuta, Hakim di
LingkunganPeradilan Agama, ArtikeldalamHarianPelita, terbitanhariRabutanggal 7
Maret 1984, hlm. 3. Lihat di dalambukunya Abdul Manan, Ibid., hlm, 176
[22]KetetapanMajelisPermusyawaratan Rakyat
Nomor III/MPR/1999 tentangPertanggungjawabanPresidenRepublik Indonesia Prof.
Dr. Ing.BachruddinJusufHabibiedalamMajelisPermusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia, KetetapanMajelisPermusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
HasilSidangUmum MPR RI Tahun 1999, (Jakarta, Sekretariat MPR-RI, 1999) hal.
45-50. Di dalambukunyaSugihantoHasanuddien, Hukum&Peradilan Islam di
Indonesia(Ponorogo: STAIN Po PRESS 2007) hlm. 123.
[23]Abdul RahmanSaleh, “Status, komposisi, jumlahsertabeberapamasalahKomisiYudisial
Indonesia di Bidang SDM” Makalahdisampaikandalam Workshop Penyusunan Policy
Paper dan Draft RUU tentangKomisiYudisial, di Hotel Borobudur,( Jakarta, 28
Agustus 2002), hlm 2
[24]A. MananChikLamkuta, Hakim di LingkunganPeradilan
Agama, .... 177.
[25]SayyidSabiq, FiqhusSunnah,
(Kuwait: Darul Bayan,Cetakan V, 1971) JILID III, hlm 339
[26]Oyo
Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam: dari Kahin di Jazirah Arab ke
peradilan Agama di Indonesia, (Bogor: ghalia Indonesia, 2011) hlm, 145
[27]Pasal
63 ayat (2) UU No 1 Tahun 1974 berbunyi: Setiap Keputusan Pengadilan Agama
dikukuhkan oleh Pengadilan Umum (PN)
[28]Oyo
Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam: dari Kahin di Jazirah Arab ke
peradilan Agama di Indonesia, (Bogor: ghalia Indonesia, 2011) hlm 146
[29]Oyo
Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam: dari Kahin di Jazirah Arab ke
peradilan Agama di Indonesia, (Bogor: ghalia Indonesia, 2011) hlm 148-149
[30]ibida
IKAHA, 1995), hlm. 43
[19]A. BasiqDjajil, Peradilan Agama di
Indonesia, GemuruhnyaPolitikHukum (Hukum Islam, Hukum Barat, HukumAdat)
dalamRentangSejarahBersamaPasangSurutLembagaPeradilan Agama
HinggaLahirnyaPeradilanSyariat Islam Aceh, (Jakarta: Kencana, 2006) hal 19
[20]A. MananChikLamkuta, Hakim di
LingkunganPeradilan Agama, ArtikeldalamHarianPelita, terbitanhariRabutanggal 7
Maret 1984, hlm. 3. Lihat di dalambukunya Abdul Manan, Ibid., hlm, 176
[22]KetetapanMajelisPermusyawaratan Rakyat
Nomor III/MPR/1999 tentangPertanggungjawabanPresidenRepublik Indonesia Prof.
Dr. Ing.BachruddinJusufHabibiedalamMajelisPermusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia, KetetapanMajelisPermusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
HasilSidangUmum MPR RI Tahun 1999, (Jakarta, Sekretariat MPR-RI, 1999) hal.
45-50. Di dalambukunyaSugihantoHasanuddien, Hukum&Peradilan Islam di
Indonesia(Ponorogo: STAIN Po PRESS 2007) hlm. 123.
[23]Abdul RahmanSaleh, “Status, komposisi, jumlahsertabeberapamasalahKomisiYudisial
Indonesia di Bidang SDM” Makalahdisampaikandalam Workshop Penyusunan Policy
Paper dan Draft RUU tentangKomisiYudisial, di Hotel Borobudur,( Jakarta, 28
Agustus 2002), hlm 2
[24]A. MananChikLamkuta, Hakim di LingkunganPeradilan
Agama, .... 177.
[25]SayyidSabiq, FiqhusSunnah,
(Kuwait: Darul Bayan,Cetakan V, 1971) JILID III, hlm 339
[26]Oyo
Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam: dari Kahin di Jazirah Arab ke
peradilan Agama di Indonesia, (Bogor: ghalia Indonesia, 2011) hlm, 145
[27]Pasal
63 ayat (2) UU No 1 Tahun 1974 berbunyi: Setiap Keputusan Pengadilan Agama
dikukuhkan oleh Pengadilan Umum (PN)
[28]Oyo
Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam: dari Kahin di Jazirah Arab ke
peradilan Agama di Indonesia, (Bogor: ghalia Indonesia, 2011) hlm 146
[29]Oyo
Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam: dari Kahin di Jazirah Arab ke
peradilan Agama di Indonesia, (Bogor: ghalia Indonesia, 2011) hlm 148-149
[30]ibid