Minggu, 01 Mei 2016

SEJARAH PERKEMBANGAN PERADILAN AGAMA PADA MASA ORDE BARU

SEJARAH PERKEMBANGAN PERADILAN AGAMA PADA MASA ORDE BARU (1980-1998)




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Secara jujur harus diakui bahwa sejarah Peradilan Agama di Indonesia, sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakimantelah cukup memakan waktu yang sangat panjang, sepanjang agama Islam itu sendiri eksis di Indonesia. Dikatakan demikian, karena memang Islam adalah agama hukum, dalam arti sebuah aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Allah Sang Pencipta (hablumminallah) yang sepenuhnya dapat dilakukan oleh pemeluk agama Islam secara pribadi (person) dan juga mengandung kaidah-kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain (hablumminannas) dan dalam kehidupan masyarakat yang memerlukan bantuan penyelenggara negara untuk melaksanakannya secara paripurna.
Peradilan Islam di Indonesia yang di kenal dengan Peradilan Agama keberadaannya jauh sebelum Indonesia merdeka karena ketika Islam mulai berkembang di Nusantara, Peradilan Agama juga telah muncul bersamaan dengan perkembangan kelompok di kala itu, kemudian memperoleh bentuk-bentuk ketatanegaraan yang sempurna dalam kerajaan-kerajaan Islam. Hal ini karena masyarakat Islam sebagai anggota masyarakat adalah orang yang paling mentaati hukum dalam pergaulan orang perseorangan maupun pergaulan umum. Peradilan Agama yang telah lama dikenal masyarakat muncul sebelum datangnya Penjajah Belanda yang banyak mengalami pasang surut hingga sekarang, pada mulanya peradilan Islam sangat sederhana sesuai dengan kesederhanaan masyarakat dan perkara-perkara yang diajukanya kepadanya pada awal islam, lalu berkembang sesuai dengan kebutuhan hukum  yang berkembang dalam Masyarakat.
Peradilan agama pada masa Orde Lama ke Orde Baru terjadi pada tahun 1967. Ketika itu Soeharto diangkat menjadi Presiden. Dengan demikian, Soeharto member nama pemerintahannya dengan Orde Baru, yaitu suatu tatanan atau sistem yang secara murni dan konsekuen melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945. Pada mulanya secara kelembagaan Peradilan Agama berada di bawah lingkup Departemen Agama. Setelah diundangkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Akhirnya Peradilan Agama dialihkan ke dalam lingkungan Mahkamah Agung. Sejak saat itulah, Pengadilan Agama, baik dari sisi kewenangan maupun kelembagaan diatur oleh sebuah peraturan perundangan yang secara eksplisit merinci tentang pelayanan Peradilan yang standar yang harus diberikan oleh lembaga Peradilan Agama tersebut.
Selanjutnya dalam makalah ini akan kami paparkan menegenai sejarah perkembangan peradilan agama pada masa orde baru antara tahun 1980-1989, sehingga kita dapat memahami tentang dinamika peradilan agama pada masa itu.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa Pengertian Peradilan Agama?
2.      Bagaimana sejarah perkembangan Peradilan Agama pada masa orde baru (1980-1989) ?
3.      Bagaimana kompetensi dan kewenangan Peradilan Agama pada masa tersebut?
4.      Bagaimana kedudukan Hakim Peradilan Agama pada masa itu terkait dengan tugas, dan wewenangnya?
5.      Bagaimana Independensi Lembaga Peradilan Agama pada masa tersebut?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Peradilan Agama
Setiap adanya masyarakat maka terdapat pula adanya aturan hukum yang akan diberlakukan bagi seluruh anggota masyarakat. Dalam pemberlakuan aturan hukum tentunya dibuat agar meminimalisir adanya suatu konflik antar anggota masyarakat. Namun, aturan yang telah dibuat dan diberlakukan tidak sepenuhnya dipatuhi. Adanya keinginan untuk memilliki hak yang lebih dan tingkat kemiskinan yang tinggi merupakan salah faktor terjadi adanya benturan-benturan antar manusia sebagai subyek hukum. Guna menyelesaikan perselihan antar anggota masyarakat maka diperlukan suatu lembaga dimana mempunyai fungsi memutus perselihan dan memberikan rasa keadilan antar pihak yang bersengketa.
Berangkat dari hal tersebut, maka lembaga yang berwenang dalam penyelesaian perselihan dikenal dengan nama peradilan. Peradilan menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah segala sesuatu yang mengenai perkara pengadilan.[1] Sedangkan menurut ahli hukum peradilan adalah kewenangan suatu lembaga untuk menyelesaikan perkara untuk dan atas nama hukum demi tegaknya hukum dan keadilan.[2] Sementara dalam bahasa Arab, peradilan disebut al-qadha yang secara etimologi mempunyai beberapa arti:
1.      Al-Faraagh artinya putus atau selesai, sesuai dengan firman Allah QS. Al-Ahzab ayat 37.
2.      Al-Adaa’ artinya menunaikan atau membayar, seperti pada firman Allah QS. Al-Jumuah ayat 10.
3.      Al-Hukm artinya mencegah atau menghalangi.
4.      Qadha adalah memutuskan hukum atau membuat suatu ketetapan.[3]
Sehingga dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peradilan adalah lembaga yang mempunyai kekuasaan umum untuk mengadili dan memutuskan perkara antara dua orang atau lebih.
Peradilan sebagai lembaga penyelesaian perselisihan telah lama dikenal di tengah masyarakat Indonesia sejak lama, peradilan tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Peradilan Pradata, yaitu suatu peradilan yang tugas dan kewenangannya mengurusi dan mengangani perkara-perkara yang menjadi urusan raja.
2.      Peradilan Padu, yaitu suatu peradilan yang mempunyai tugas dan wewenang mengurusi dan menangani perkara-perkara yang bukan menjadi urusan raja.[4]
Penyebaran agama Islam yang telah sampai ke wilayah Indonesia dan secara bertahap diterima oleh masyarakat Indonesia. Agama Islam telah banyak mempengaruhi ajaran, budaya, nilai-nilai norma masyarakat serta sitem peradilan yang sebelumnya berpaham ke ajaran Hindu Budha. Peradilan Agama yang sebelumnya Peradilan Islam merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam.Undang-Undang ini” (Pasal 2 UU No. 3 Tahun 2006). Dalam hal ini, Peradilan Agama hanya berwenang dibidang perdata tertentu saja, tidak pidana dan pula hanya untuk orang-orang Islam di Indonesia, dalam perkara-perkara perdata Islam tertentu, tidak mencakup seluruh perdata Islam.[5]




B.     Sejarah dan Perkembangan
Peradilan Agama sebagai institusi atau lembaga peradilan di Indonesia sangatlah penting dalam penegakkan hukum di Indonesia khususnya dalam lingkup hukum Islam. Hal tersebut terbukti dengan adanya pelaksanaan kekuasaan kehakiman dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan berlakunya UU No 14 Tahun 1970. Berlakunya peraturan UU No 14 Tahun 1970 merupakan akar dari Keputusan Menteri Agama No 6 Tahun 1980 tentang Penyeragaman nama-nama pengadilan dalam lingkungan peradilan agama dengan sebutan Pengadilan Agama pada tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama pada tingkat banding.
Guna menciptakan peradilan agama yang mandiri dan sejajar dengan peradilan yang lain sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, peradilan agama banyak mengalami proses panjang yaitu dari tahun 1975-1988. Departemen Kehakiman dengan koordinasi BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) menyediakan anggaran untuk RUU-PA, yaitu dengan keluarnya:
1.      Surat Keputusan Menteri Kehakiman No G-164 PR-09.03 tahun 1982 tentang pembentukan tim inti pembahasan dan pembentukan
2.      Surat Keputusan Menteri Kehakiman No G-25 PR-09.03 tahun 1983 tentang pembentukkan panitia antar Departemen dan Perguruan Tinggi dan Panitia Penyusunan RUU tentang Acara Peradilan Agama
3.      Surat Keputusan Menteri Kehakiman No G-198 PR-09.03 tahun 1984 tentang Tim Pembahasan dan Penyusunan RUU tentang Susunan Kekuasaan Badan Peradilan Agama yang dibiayai dari dana BADKI Departemen Agama.[6]
Kemudian setelah diundangkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Akhirnya Peradilan Agama dialihkan ke dalam lingkungan Mahkamah Agung yang sebelumnya di bawah Departemen Agama. Sejak saat itulah, Pengadilan Agama, baik dari sisi kewenangan maupun kelembagaan diatur oleh sebuah peraturan perundangan yang secara eksplisit merinci tentang pelayanan Peradilan yang standar yang harus diberikan oleh lembaga Peradilan Agama tersebut. Namun demikian, kewenangan yang dimiliki Peradilan Agama ketika itu memang masih sangat terbatas. Penyelesaian sengketa yang menjadi kompetensi Peradilan Agama masih berkisar dan terpusat pada penyelesaian masalah nikah, talaq, cerai dan rujuk.
Masuknya pihak eksekutif ke dalam kekuasaan kehakiman disinyalir sebagai salah satu sebab mengapa kekuasaan kehakiman di negeri ini tidak independen. Alasan itulah antara lain yang menyebabkan status dan kedudukan Peradilan Agama belum bisa dikatakan sebagai Peradilan yang independen, mandiri, dan kokoh, selama masa Orde Baru. Untuk memperbaiki kondisi tersebut, pada tanggal 8 Desember 1988 Presiden RI menyampaikan Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama (RUU PA) kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang, akhirnya RUU PA tersebut disahkan menjadi UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.[7]

C.    Kompetensi dan Kewenangan Peradilan Agama
Dengan berlakunya UU No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama maka dalam kewenangannya sangatlah mempunyai peran penting dalam penegakkan hukum Islam bagi masyarakat Islam di Indoensia. Selain itu, dengan perumusan KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang meliputi bidang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan, maka salah satu masalah yang dihadapi oleh Peradilan Agama yaitu kenaekaragaman dan ketentuan hukum dapat teratasi. Berkenaan dengan hal tersebut, maka dalam uraian berkutnya dikemukakan tentang UU No 7 tahun 1989 serta adanya Intruksi Presiden (Inpres) No 1 tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
Undang-Undang no 7 tahun 1989 merupakan bentuk pelaksanaan atas Undang-Undang No 14 tahun 1970 yang secara umum isi dari UU No 7 tahun 1989 memuat perubahan tentang penyelanggaraan PADI, yaitu:[8]
1.      Perubahan tentang dasar hukum pelenggaraan PADI
2.      Perubahan tentang kedudukan PADI dalam tata peradilan nasional
3.      Perubahan tentang kedudukan hakim Peradilan Agama
4.      Peruabahan tentang kekuasaan pengadilan dalam lingkungan PADI
5.      Perubahan tentang hukum acara Peradilan Agama
6.      Perubahan tentang administratif Peradilan Agama
7.      Perubahan tentang perlindungan terhadap wanita.
Selanjutnya dikeluarkannya Inpres No 1 tahun 1991 tentang Penyelenggaraan Kompilasi Hukum Islam berhubungan dengan kemajemukan hukum dalam sistem hukum nasional. Dengan adanya peraturan tersebut menjadikan Peradilan Agama dapat diakui keberadaannya dimana Peradilan Agama mempunyai kewenangan menangani persengketaan di bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Walaupun KHI bukanlah suatu Undang-Undang, namun merupakan petunjuk terhadap Undang-Undang dengan adanya Inpres No 1 tahun 1991 yang dapat diterapkan oleh para hakim dalam yurisprudensi Peradilan Agama dalam memutus perkara-perakara yang dihadapi dalam ruang lingkup hukum keluarga Islam.

D.    Kedudukan, Kekuasaan dan Kewenangan Hakim Peradilan Agama
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai  perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-undang ini. Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama, Pengadilan Tinggi Agama. Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan  Negara Tertinggi.[9]
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24 menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan Mahkamah Agung RI dan lain-lain badan peradilan menurut undang-undang. Sebagai realisasi pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 itu, maka ditetapkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Titik awal pembaruan peradilan agama baru dimulai sejak ditetapkan UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, pemerintah lebih mempertegas keberadaan peradilan agama. Paling tidak, ada dua prinsip pokok pembaruan peradilan agama yang diatur UU No. 14 Tahun 1970. Pertama, menetapkan Peradilan Agama sebagai salah satu lingkungan badan peradilan negara disamping tiga badan peradilan lainnya. Kedua, penghapusan sistem “fiat eksekusi”[10] oleh peradilan umum atas putusan peradilan agama. Sehingga menyebabkan kedudukan peradilan agama yang “inferior ” di hadapan peradilan umum.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 ini telah menempatkan Peradilan Agama sebagai salah satu lingkungan pelaksanaan kekuasaan kehakiman, secara konstitusional, Pengadilan Agama merupakan salah satu  badan peradilan yang mandiri dan sederajat dengan lembaga perdilan yang lain. Wewenang Peradilan Agama adalah menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara tertentu dan bagi kelompok tertentu, yaitu  perselisihan di antara orang-orang yang beragama Islam. Ditetapkan pula  bahwa pembinaan dan pengawasan fungsi Pengadilan Agama dilaksanakan oleh Mahkamah Agung RI, sedangkan organisasi, administrasi, finansial  berada di bawah Departemen Agama RI.[11]
Kemudian, peradilan agama lebih diperkuat lagi dengan keluarnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1/1977 tentang Kasasi bagi putusan Pengadilan Agama. Penyeragaman istilah untuk seluruh Indonesia baru dilakukan setelah keluarnya Surat Keputusan (SK) Menteri Agama Nomor 6 Tahun 1980, yaitu Pengadilan Agama untuk pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama untuk tingkat banding. Pada 29 Desember 1989, Presiden Republik Indonesia mengesahkan UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang dimuat dalam Lembaran Negara RI Nomor 49 Tahun 1989 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3400.[12]
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, pembinaan Peradilan Agama diarahkan untuk menjamin penegakan, pelayanan dan kepastian hukum dalam  bidang kekeluargaan bagi masyarakat yang beragama islam. Disamping itu,  pembinaan Peradilan Agama juga diarahkan untuk meningkatkan keterpaduan dalam pembinaan dan penyelenggaraan Peradilan Agama dengan ketiga  badan peradilan yang lain. Kemudian disisipkan pula hakim Peradilan Agama yang berkualitas dan profesional dalam penegakan hukum, kepastian hukum, dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Suasana dan peran Peradilan Agama pada pasca-Stbl. Nomor 116, yurisdiksinya tetap kabur balik dalam bidang perkawinan dan kewarisan. Demikian juga dalam pasal 63 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 masih ada kesan melecehkan Pengadilan Agama, yaitu putusannya mesti harus dikukuhkan oleh Pengadilan Negeri, seolah-olah Peradilan Agama bukan peradilan yang mandiri.[13]
Setelah disahkannya UU No. 7 Tahun 1989, peradilan agama memiliki UU yang lebih maju dari ketentuan-ketentuan UU yang ada sebelumnya.[14]Namun, dari segi aspek kedudukan dan status sebagai satu kesatuan pelaksana kekuasaan kehakiman di negara hukum Indonesia, ia  belum bisa dikatakan mandiri, karena masih berada di bawah Departemen Agama sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif. Akibatnya, proses dan  perjalanan peradilan agama menjadi tidak normal.[15]
Bukan saja karena adanya intervensi dari kekuatan politik di eksekutif, tetapi juga perhatian  pihak eksekutif terhadap peradilan agama jauh dari memadai. Menurut sumber dari Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama dalam periode tahun 1970-1989 baru ada 158 Pengadilan Agama dan 10 Pengadilan Tingkat Banding, hakim agama baru ada sebanyak 155 orang sehingga tugas-tugas dalam penyelesaian perkara dibantu oleh hakim honorer dari para kiai dan para tokoh masyarakat yang ahli dalam bidang hukum Islam. Hukum acara masih berserak dan terserak dalam berbagai peraturan  perundang-undangan yang ditinggal pemerintah kolonial Belanda yang masih dinyatakan berlaku.[16]
Perlu dicatat bahwa pada masa-masa awal Peradilan Islam itu, wewenangnya sangat luas dan tidak terbatas hanya pada urusan ahwal al-syakhsiyah saja, seperti nikah, talak rujuk, waris, hadanah, tetapi juga mencakup hukum pidana (jinayah), sehingga Peradilan Islam ketika itu betul- betul merupakan peradilan umum bagi umat Islam.[17]Dengan diangkatnya Hakim Agama Honorer pada Pengadilan Agama, maka pada saat itu ada dua macam status hakim pada Pengadilan Agama yaitu, (1) Hakim Agama Tetap, yaitu hakim yang diangkat dari lulusan fakultas syariah, minimal lulusan PHIN yang diangkat langsung oleh Menteri Agama RI; (2) Hakim Agama Honorer, yaitu hakim yang direkrut dari para Alim Ulama atau orang yng dipandang mampu dalam bidang hukum Islam, yang mengangkatnya dilakukan oleh Ketua Pengadilan Tingkat Banding atas nama Menteri Agama RI. Honorarium mereka dibayar oleh negara, disamping mendapat uang sidang seperlunya dari Pengadilan Agama tempat mereka bersidang.
Sehubungan dengan tradisi majelis sidang yang ditetapkan dalam Stbl. 1957, Nomor 116 dan Nomor 610, juga dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957, maka Menteri Agama RI mengangkat hakim honorer agar sidang-sidang Pengadilan Agama memenuhi kuorum majelis. Jabatan wakil ketua pada Pengadilan Agama belum terisi karena personelnya belum ada, maka wakil ketua honorer diangkat dengan tugas apabila ketua berhalangan sidang, maka sidang-sidang Pengadilan Agama dapat dipimpin oleh wakil ketua honorer tersebut. Walaupun demikian, kenyataan menunjukan lain yaitu, kesempatan mereka untuk menghadiri sidang Pengadilan Agama menjadi tertunda, dan lambat penyelesaiannya. Antisipasi kelembagaan terhadap kondisi ini, maka Mahkamah Agung RI dengan suratnya Nomor 0/TUADA-AG/III/-Um/ 1987 tanggal 10 Januari 1987 mengijinkan untuk dilaksanakan sidanag-sidang di Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dengan hakim tunggal.
Atas dasar keputusan Musyawarah Alim Ulama Terbatas itu Menteri Agama RI mengngkat wanita menjadi hakim pada Pengdilan Agama. Bahkan sekarang ada wanita hakim Pengadilan Agama menjadi Ketua Pengadilan Agama. Sebenarnya apa yang dilaksanakan oleh Menteri Agama RI itu  bukanlah hal yang baru, sebab jauh sebelumnya Departemen Agama telah melaksanakan Kursus Calon Hakim Agama Wanita berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI atas desakan pihak Kongres Wanita Indonesia (KWI) kedua di Bandung pada tanggal 22-24 November 1956. Dalam merekrut hakim agama wanita pada waktu itu mata pelajaran yang di uji adalah Wanita Islam, Wanita dalam Hukum Adat, Sistem Pengadilan di Indonesia, dan Pengantar Ilmu Hukum.[18]
Usaha kerja sama antara Departemen Agama RI dan Mahkamah Agung RI berpengaruh besar terhadap badan Pengadilan Agama. Pada tahap  pertama di tunjuk beberapa Hakim Agung untuk memeriksa dan memutus  perkara kasasi dari lingkungan Peradilan Agama, yaitu, Ny. Sri Widoyanti Wiratmo Sukito, Z. Asikin Kusumaatmadja, Ronindyopuro, dan Busthanul Arifin. Setelah itu lahir Keputusan Presiden Nomor 33/M/1982 tanggal 22 Februari 1982 tentang Pengangkatan Prof. H. Bustanul Arifin, SH. Sebagai Ketua Muda Mahkamah Agung RI Urusan Lingkungan Peradilan Agama.

Efektivitas pola strategi pembinaan tersebut mendorong diadakan rapat kerja sama antara Mahkamah Agung RI dengan Departemen Agama RI yang kedua. Beberapa hal yang perlu dicatat sebagai realisasi dan keputusan kerja tersebut adalah: (1) penandatanganan empat buah Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI  pada Januari 1983. Salah satu SKB tersebut adalah tentang pengawasan terhadap hakim Peradilan Agama dalam rangka meningkat disiplin dan wibawa hakim; (2) pembentukan tim inti pembahasan dan penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Acara Paeradilan Agama, pembentukan tim ini dilaksanakan dengan Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor G. 164, PR. 0903 Tahun 1982, kemudian dikuatkan dengan izin Sekretaris  Negara RI Nomor 736/-Mensesneg/9/1983 tanggal 13 September 1983.
Langkah strategis lain yang dirancang sebagai tindak lanjut hasil raker tadi adalah pembentukan hukum materil yang akan dijadikan pegangan bagi hakim Pengadilan Agama. Ide pembentukan hukum materil dalam wujud Kompilasi Hukum Islam (KHI) timbul setelah beberapa tahun setelah Mahkamah Agung RI membina bidang teknis yutisial Peradilan Agama. Disana disarankan adanya beberapa kelemahan antara lain soal hukum Islam yang tetap di lingkungan Peradilan Agama cenderung beragam disebabkan oleh perbedaan pendapat ulama dalam hampir setiap persoalan. Untuk itu diperlukan satu buku yang menghimpun semua hukum yang dapat dijadikan  pegangan oleh hakim Peradilan Agama dalam melaksanakan tugasnya, sehingga terjamin adanya kesatuan hukum. Langkah-langkah strategis itu diorganik dengan pembentukan keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung RI dengan Menteri Agama RI Nomor 07/KMA/1985 dan Nomor 25 Tahun 1985 tanggal 15 Maret 1985 tentang Penunjukan Pelaksanaan Proyek Pembangunan Hukum Islam Melalui Yurisprudensi.

Setelah mengalami proses kerja yang saksama dan memakan waktu yang cukup panjang, maka rancangan Kompilasi Hukum Islam tersusun dan diterima baik dalam lokakarya yang dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 2-5 Februari 1988. Kompilasi Hukum Islam terdiri dari tiga buku, yaitu buku  pertama Hukum Perkawinan, kedua Hukum Kewarisan dan buku ketiga memuat Hukum Perwakafan. Presiden RI dengan Intruksi Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 memerintahkan Menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam itu kepada seluruh instansi  pemerintah, dan masyarakat yang memerlukannya.
Dengan keluarnya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, tidak ada masalah lagi tentang: (1) Wewenang; (2) Hukum Acara; (3) Susunan Peradilan Agama. Dan kekurangan lainnya seperti hukum material tertulis yang disusun secara sistematis dalam bahasa dan Peraturan Perundang-undangan yang dapat dijadikan pegangan oleh semua pihak yang mencari keadilan di Pengadilan Agama, juga telah lahir dalam bentuk instruksi presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.[19]
 Tentang kedudukan Hakim Peradilan Agama dalam kurun waktu ini, dikemukakan oleh Purwo S. Gandasubrata, Wakil Ketua Mahkamah Agung RI dalam simposium Sejarah Peradilan Agama tanggal 5 April 1982 di Jakarta bahwa Hakim Peradilan Agama sekarang bukan lagi “Penghulu Rechter” zaman dahulu. Sesuai dengan pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dimana dijelaskan bahwa Peradilan Agama termasuk salah satu lingkungan peradilan yang diakui negara, maka hakim yang bekerja di Peradilan Agama adalah hakim negara dengan tugas mengadili perkara tertentu yang masuk kewenangannya.[20]
Keluarnya Instruksi Presiden RI Nomor 12 tahun 1970 tentang Penegasan Kedudukan Hakim, maka ada sementara pihak yang mempertanyakan apakah hakim agama termasuk hakim negara? Sehubungan dengan hal ini Kepala Kantor Urusan Pegawai dalam rapat kerja yang dilaksanakan pada bulan September 1970 di Jakarta menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hakim adalah hakim pada Pengadilan Negeri, Hakim Pengadilan Agama termasuk juga dalam ketentuan instruksi tersebut, apabila  berstatus sebagai pegawai negeri dan mendapat gaji dari kas negara.
Kedudukan tadi dipertegas lagi oleh Ketua Mahkamah Agung RI dengan Departemen Agama RI dengan SKB Nomor KMA/00/1/1983 dan  Nomor 4 Tahun 1983, di mana dikemukakan bahwa perlu adanya usaha membantu memperlancar rekrutmen hakim pada Pengadilan Agama sebagai hakim negara tidak perlu di persoalkan lagi. Kedudukannya sama dengan hakim yang bekerja di lingkungan peradilan yang lain.[21]
Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu pilar bagi negara yang berlandaskan sistem demokrasi dan negara hukum.[22]Kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak tidak hanya diartikan bebas dari  pengaruh kekuasaan eksekutif, tetapi juga bebas dari gangguan dalam melaksanakan tugasnya. Kekuasaan kehakiman juga merupakan instrument  penting untuk menjamin hak-hak asasi dalam mempertahankan keadilan yang merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam demokrasi.
Kekuasaan kehakiman bukan suatu lembaga yang dapt menuntaskan segala persoalan yang menyangkut kekuasaan kehakiman. Beberapa aspek yang sering menjadi persoalan di dalam kekuasaan kehakiman adalah menyangkut pengangkatan, promosi, mutasi pemberhentian, dan tindakan atau hukuman terhadap hakim.
Perlunya suatu lembaga khusus yang memiliki fungsi-fungsi tertentu yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sesungguhnya bahkan merupakan gagasan yang benar-benar baru di Indonesia. Pada tahun 1968, ketika dilaksanakan diskusi membahas RUU tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sempat diusulkan pembentukan lembaga yang diberi nama Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH). Majelis ini mempunyai fungsi untuk memberikan pertimbangan dan mengambil keputusan terakhir mengenai saran-saran atau usul-usul yang berkaitan dengan pengangkatan, promosi, mutasi pemberhentian, dan tindakan atau hukuman jabatan hakim, yang diajukan baik oleh Mahkamah Agung maupun Departemen Kehakiman.[23]
Hakim sebagai pebegak hukum dan keadilan berkewajiban mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Tugas tersebut dibebankan kepada hakim Peradilan Agama agar dapat memutuskan  perkara yang diajukan kepadanya dengan adil dan benar. Mukti Ali, ketika menjabat Menteri Agama RI pada penutupan latihan hakim agama mengemukakan bahwa hakim agama harus dapat menggali, memahami, dan mengahayati hukum yang hidup dalam masyarakat dengan cara meningkatkan ilmu pengetahuan. Sangat besar bahayanya apabila hakim tidak memiliki ilmu pengetahuan yang cukup.[24]
Dalam kaitan ini dimana Rasulullah SAW mengatakan bahwa hakim itu ada tiga golongan, satu golongan dimasukan kedalam surga, dua golongan dimasukan kedalam neraka. Hakim yang memegang kebenaran itulah dimasukan kedalam surga, hakim yang mengetahui kebenaran tapi berlaku curang dalam memberikan keputusan hukum terhadap suatu perkara, dimasukan kedalam neraka. Begitu  pula apabila ia dalam mengambil keputusan lalu ia berijtihad, kemudian ternyata ijtihadnya itu benar, maka ia berhak mendapat dua pahala, tetapi jika ia bersalah mendapat satu pahala.[25]Dengan demikian, hakim Peradilan Agama dalam menciptakan hukum-hukum baru tidak boleh lepas dari ijtihad sebagaimana yang telah ditentukan oleh hukum syara’ , sehingga putusan-putusan yang ditetapkan mempunyai bobot keadilan yang dapat diandalkan. Putusan yang ditetapkan oleh Hakim Peradilan Agama itu dapat menentukan isi hukum yang hidup di Indonesia yang sesuai dengan falsafah Pancasila.

E.     Independensi dan kesejajaran Peradilan Agama
Lembaran baru bagi pencerahan dunia peradilan agama di Indonesia mulai tergores karena pada tanggal 29 Desember 1989 RUUPA (Rancanggan Undang-Undang Peradilan Agama) yang sebelumnya ditunggu-tunggu dengan pengharapan yang beragam, disahkan menjadi Undang-Undang Negara, yaitu UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Menurut Ismail Sunny, UU. No 7 Tahun 1989 itu merupakan bukti nyata besarnya pemahaman dan perhatian pemerintah terhadap aspirasi umat islam, yang mendambakan adanya undang-undang yang secara khusus mengatur tentang peradilan agama.[26]
Lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 tersebut memebawa pengaruh yang sangat besar terhadap keberadaan peradilan agama di Indonesia sehingga menjadi mandiri dan berdiri sam tinggi dengan pengadilan-pengadilan lainnya. Undang-undang tersebut bukan saja hanya mengatur tentang susunan, kekuasaan dan acara pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, tetapi yang sangat mendasar adalah dicabutnya pelbagai aturan yang selama ini mengganjal, baik mengenai pembatasan jangkauan dan penerapan hukum islam bagi umat islam di pengadilan agama, seperti yang tertera dalam pasal 4 ayat 2 PP No 45 Tahun 1957 (masih kuatnya pengaruh teori reseptie-hukum islam baru bisa diterapkan apabila sesuai dengan hukum adat), maupun mengenai ketergantungan pengadilan agama kepada pengadilan negeri berkenaan dengan pengukuhan sebagaimana tertera dalam pasal 63 ayat (2) UU No. ! Tahun 1974.
Melalui pasal 107 UU No. 7 tahun 1989, keberadaan staatsblad 1882 Nomor 152 tentang peradilan agama di Jawa Timur dan Madura, staatsblad 1937 Nomor 116 dan 610 tentang Mahkamah Islam Tinggi di jawa dan Madura, Staatblad 1937 Nomor 638 dan 639 tentang kerapatan Qadhi dan kerapatamn Qadhi besar di sebagian residensi kalimantan Selatan dan Timur, PP Nomor 45 Tahun 1957 tentang pembentukan mahkamah syari'ah di luar Jawa dan Madura, dan pasal 63 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974 tentang pengukuhan Keputusan Pengadilan Agama oleh pengadilan Negeri, [27] secara yuridis tidak berlaku lagi . dengan demikian , peradila agama sebagai peradilan khusus yang mengadili perkara-perkara tertentu dan mengenai kelompok masyarakat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama islam menjadi sejajar dengan peradilan-peradilan lainnya di Indonesia (PN, PTUN, dan PM)
Dengan berlakunya UU No.7 Tahun 1989, hierarki pengadilan dalam lingkungan peradilan agama memiliki hubungan ganda, yakni : (1) hubungan fungsional dengan Mahkamah Agung, yaitu segi yuridiksi-administratif peradilan; (2) hubungan struktural dengan departemen Agama, yaitu segi administrasi umum, yang meliputi organisasi kelembagaan , kepegawaian, sarana, dan finansial. UU NO. 7 Tahun 1989 ini sekaligus menghapus sebutan pengadilan agama yang kerempeng, "hidup segan mati pun tak mau". Karena Pengadilan Agama telah memiliki regulasi yang kuat, yang mengatur tentang; susunan, kekuasaan, dan hukum acaranya.[28]



Kelengkapan susunan yang legitimate serta kekuasaan dan kewenangan yang jelas yang dimiliki peradilan agama itu dilengkapai pula dengan adanya sumber hukam acara seperti disebutkan dalam pasal 54 UU No. 7  Tahun 1989, yaitu hukum acara perdata sebagaimana yang berlaku dalam lingkungan peradilan umum. Disamping itu, dimiliki pula hukum acara yang secara khusus berlaku bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan agama yang terdapat dalam pasal 55 sampai dengan pasal 91 UU No. 7 tahun 1989. Dengan adanya ketentuan hukum yang dijadikan rujukan dalam beracara, maka hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan agama tidak lagi sembarangan dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara , tetapi dikawal oleh mekanisme dan aturan permainan yang harus diikuti sebagaimana halnya yang sudah berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.[29]
Posisi peradilan agama itu semakin lengkap  dengan lahirnya Inpres No 1 tahun 1991 tentang Pemasyarakatan  kompilasi Hukum Islam  yang berlaku sebagai hukum materiil bagi pengadilan agama . Pemberlakuan Inpres No 1 tahun 1991  itu sendiri diatur dengan keluarnay Keputusan Menteri Agama No 154 tahun 1992, yang salah satu konsiderannya menyatakan, bahwa KHI dapat dijadikan pedoman bagi penegak hukum dan para pihak yang memerlukannya.[30]



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berlakunya peraturan UU No 14 Tahun 1970 merupakan akar dari Keputusan Menteri Agama No 6 Tahun 1980 tentang Penyeragaman nama-nama pengadilan dalam lingkungan peradilan agama dengan sebutan Pengadilan Agama pada tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama pada tingkat banding
Guna menciptakan peradilan agama yang mandiri dan sejajar dengan peradilan yang lain sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, peradilan agama banyak mengalami proses panjang yaitu dari tahun 1975-1988. Departemen Kehakiman dengan koordinasi BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) menyediakan anggaran untuk RUU-PA, yaitu dengan keluarnya:
1.      Surat Keputusan Menteri Kehakiman No G-164 PR-09.03 tahun 1982 tentang pembentukan tim inti pembahasan dan pembentukan
2.      Surat Keputusan Menteri Kehakiman No G-25 PR-09.03 tahun 1983 tentang pembentukkan panitia antar Departemen dan Perguruan Tinggi dan Panitia Penyusunan RUU tentang Acara Peradilan Agama
3.      Surat Keputusan Menteri Kehakiman No G-198 PR-09.03 tahun 1984 tentang Tim Pembahasan dan Penyusunan RUU tentang Susunan Kekuasaan Badan Peradilan Agama yang dibiayai dari dana BADKI Departemen Agama
Pada masa Orde Baru kekuasaan dari lembaga peradilan (yudikatif) mengalami perkembangan yang signifikan yaitu dengan di Undangkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang mana dalam Undang-Undang ini kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh empat lingkungan peradilan yang ada yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara yang semuanya berada di bawah Mahkamah Agung. Ketentuan UU No. 14/1970 tersebut merupakan awal proses  penyusunan RUU-PA. Menurut prosedur yang telah ditetapkan dalam INPRES No. 15/1970 tentang tata cara mempersiapkan Rancangan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah RI, terlebih dahulu harus diajukan  permohonan izin prakarsa membuat Rancangan Undang-Undang kepada  presiden. Maka Menteri Agama K.H. Moh. Dachlan mengajukan permohonan membuat RUU tersebut kepada presiden dengn suratnya No. MA/242/197 tanggal 31 Agustus 1971. RUU yang diajukan prakarsanya adalah tentang Susunan dan Kekuasaan serta Acara Peradilan Agama. Setahun kemudian, Menteri Agama Prof. Dr. H. A. Mukti Ali mengirim surat lagi kepada  presiden, menyusul surat Menteri Agama sebelumnya, yaitu dengan suratnya tanggal 9 Agustus 1972 No. MA/288/1972



DAFTAR PUSTAKA
Aripin, Jaenal.JejakLangkahPeradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana ,2013
BasiqDjajil, A. Peradilan Agama di Indonesia, GemuruhnyaPolitikHukum (Hukum Islam, Hukum Barat, HukumAdat) dalamRentangSejarahBersamaPasangSurutLembagaPeradilan Agama HinggaLahirnyaPeradilanSyariat Islam Aceh, Jakarta: Kencana, 2006
DjamilLatif, M.KedudukandanKekuasaanPeradilan Agama di Indonesia Jakarta: BulanBintang, 1983
Ichtijanto, H. SA. Ikatan Hakim Agama, OrganisasiPerjuangan di BidangHukum, Jakarta: PanitiaMunasLuarBiasa IKAHA, 1995
KetetapanMajelisPermusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/1999 tentangPertanggungjawabanPresidenRepublik Indonesia Prof. Dr. Ing.BachruddinJusufHabibiedalamMajelisPermusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, KetetapanMajelisPermusyawaratan Rakyat Republik Indonesia HasilSidangUmum MPR RI Tahun 1999, (Jakarta, Sekretariat MPR-RI, 1999) hal. 45-50. Di dalambukunyaSugihantoHasanuddien, Hukum&Peradilan Islam di Indonesia (Ponorogo: STAIN Po PRESS 2007) hlm. 123.
koto, Alaiddin, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
MananChikLamkuta, A. Hakim di LingkunganPeradilan Agama, ArtikeldalamHarianPelita, terbitanhariRabutanggal 7 Maret 1984
Manan Abdul, Etika Hakim dalamPenyelenggaraanPeradilan, SuatuKajiandalamSistemPeradilan Islam, Jakarta; Kencana 2010
RahmanSaleh, Abdul.Status, komposisi, jumlahsertabeberapamasalahKomisiYudisial Indonesia di Bidang SDM” Makalahdisampaikandalam Workshop Penyusunan Policy Paper dan Draft RUU tentangKomisiYudisial, di Hotel Borobudur, Jakarta, 28 Agustus 2002
Roestam, St. Zafrullah Salim, M.S, Wijaya, Menulusuri Perkembangan Sejarah Hukum dan Syari’at Islam, Jakarta: Kalam Mulia, Cet 1, 1992
Roihan, A. Rasyid.  Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Rajawali Press, 1992.
Sabiq,sayyid.FiqhusSunnah, Kuwait: Darul Bayan,Cetakan V, 1971 JILID III
Sunaryo Mukhlas, Oyo.Perkembangan Peradilan Islam: dari Kahin di Jazirah Arab ke peradilan Agama di Indonesia,Bogor: ghalia Indonesia, 2011
Tri Wahyudi, Abdul. S. Ag., S.H., Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
UU No 1 Tahun 1974TentangPerkawinan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
YahyaHarahap, M.BeberapaMasalahHukumAcarapadaPeradilan Agama, Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 1993




[1]Tim Penyusun, KBBI, 1990.
[2]Abdullah Tri Wahyudi, S. Ag., S.H., Peradilan Agama di Indonesia,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hlm 1.
[3]Prof. Dr. Alaiddin koto, M.A., Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), hlm. 9-10.
[4]Abdullah Tri Wahyudi, S. Ag., S.H., Peradilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hlm 2.
[5]Roihan, A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Rajawali Press), 1992, cet. 2, hlm. 5-7
[6]St. Roestam, Zafrullah Salim, M.S, Wijaya, Menulusuri Perkembangan Sejarah Hukum dan Syari’at Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, Cet 1, 1992), hlm. 514.
[8]Prof. Dr. Alaiddin koto, M.A., Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), hlm. 261.
[9]Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
[10]JaenalAripin, JejakLangkahPeradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana 2013), hlm 136.
[11]Abdul Manan, Etika Hakim dalamPenyelenggaraanPeradilan, SuatuKajiandalamSistemPeradilan Islam, (Jakarta; Kencana 2010) hlm 171
[13]M. YahyaHarahap, BeberapaMasalahHukumAcarapadaPeradilan Agama, (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 1993), hlm 57,
[14]JaenalAripin, JejakLangkahPeradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana 2013), hlm138.
[15]ibid
[16]Ibid, hlm 172
[17]M. DjamilLatif, KedudukandanKekuasaanPeradilan Agama di Indonesia(Jakarta: BulanBintang, 1983), hlm 9
[18]H. Ichtijanto, SA. Ikatan Hakim Agama, OrganisasiPerjuangan di BidangHukum
, (Jakarta: PanitiaMunasLuarBiasSEJARAH PERKEMBANGAN PERADILAN AGAMA PADA MASA ORDE BARU (1980-1998)


MAKALAH
Diajukan guna memenuhi tugas dalam mata kuliah Peradilan Agama

Disusun Oleh:
Anwar Afandi (12340093 IH-C) 087838730009
Faiq Hidayat (1234099 IH-C) 083844399740

Dosen Pengampu:

Drs. Malik Ibrahim, M.Ag

ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Secara jujur harus diakui bahwa sejarah Peradilan Agama di Indonesia, sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakimantelah cukup memakan waktu yang sangat panjang, sepanjang agama Islam itu sendiri eksis di Indonesia. Dikatakan demikian, karena memang Islam adalah agama hukum, dalam arti sebuah aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Allah Sang Pencipta (hablumminallah) yang sepenuhnya dapat dilakukan oleh pemeluk agama Islam secara pribadi (person) dan juga mengandung kaidah-kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain (hablumminannas) dan dalam kehidupan masyarakat yang memerlukan bantuan penyelenggara negara untuk melaksanakannya secara paripurna.
Peradilan Islam di Indonesia yang di kenal dengan Peradilan Agama keberadaannya jauh sebelum Indonesia merdeka karena ketika Islam mulai berkembang di Nusantara, Peradilan Agama juga telah muncul bersamaan dengan perkembangan kelompok di kala itu, kemudian memperoleh bentuk-bentuk ketatanegaraan yang sempurna dalam kerajaan-kerajaan Islam. Hal ini karena masyarakat Islam sebagai anggota masyarakat adalah orang yang paling mentaati hukum dalam pergaulan orang perseorangan maupun pergaulan umum. Peradilan Agama yang telah lama dikenal masyarakat muncul sebelum datangnya Penjajah Belanda yang banyak mengalami pasang surut hingga sekarang, pada mulanya peradilan Islam sangat sederhana sesuai dengan kesederhanaan masyarakat dan perkara-perkara yang diajukanya kepadanya pada awal islam, lalu berkembang sesuai dengan kebutuhan hukum  yang berkembang dalam Masyarakat.
Peradilan agama pada masa Orde Lama ke Orde Baru terjadi pada tahun 1967. Ketika itu Soeharto diangkat menjadi Presiden. Dengan demikian, Soeharto member nama pemerintahannya dengan Orde Baru, yaitu suatu tatanan atau sistem yang secara murni dan konsekuen melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945. Pada mulanya secara kelembagaan Peradilan Agama berada di bawah lingkup Departemen Agama. Setelah diundangkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Akhirnya Peradilan Agama dialihkan ke dalam lingkungan Mahkamah Agung. Sejak saat itulah, Pengadilan Agama, baik dari sisi kewenangan maupun kelembagaan diatur oleh sebuah peraturan perundangan yang secara eksplisit merinci tentang pelayanan Peradilan yang standar yang harus diberikan oleh lembaga Peradilan Agama tersebut.
Selanjutnya dalam makalah ini akan kami paparkan menegenai sejarah perkembangan peradilan agama pada masa orde baru antara tahun 1980-1989, sehingga kita dapat memahami tentang dinamika peradilan agama pada masa itu.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa Pengertian Peradilan Agama?
2.      Bagaimana sejarah perkembangan Peradilan Agama pada masa orde baru (1980-1989) ?
3.      Bagaimana kompetensi dan kewenangan Peradilan Agama pada masa tersebut?
4.      Bagaimana kedudukan Hakim Peradilan Agama pada masa itu terkait dengan tugas, dan wewenangnya?
5.      Bagaimana Independensi Lembaga Peradilan Agama pada masa tersebut?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Peradilan Agama
Setiap adanya masyarakat maka terdapat pula adanya aturan hukum yang akan diberlakukan bagi seluruh anggota masyarakat. Dalam pemberlakuan aturan hukum tentunya dibuat agar meminimalisir adanya suatu konflik antar anggota masyarakat. Namun, aturan yang telah dibuat dan diberlakukan tidak sepenuhnya dipatuhi. Adanya keinginan untuk memilliki hak yang lebih dan tingkat kemiskinan yang tinggi merupakan salah faktor terjadi adanya benturan-benturan antar manusia sebagai subyek hukum. Guna menyelesaikan perselihan antar anggota masyarakat maka diperlukan suatu lembaga dimana mempunyai fungsi memutus perselihan dan memberikan rasa keadilan antar pihak yang bersengketa.
Berangkat dari hal tersebut, maka lembaga yang berwenang dalam penyelesaian perselihan dikenal dengan nama peradilan. Peradilan menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah segala sesuatu yang mengenai perkara pengadilan.[1] Sedangkan menurut ahli hukum peradilan adalah kewenangan suatu lembaga untuk menyelesaikan perkara untuk dan atas nama hukum demi tegaknya hukum dan keadilan.[2] Sementara dalam bahasa Arab, peradilan disebut al-qadha yang secara etimologi mempunyai beberapa arti:
1.      Al-Faraagh artinya putus atau selesai, sesuai dengan firman Allah QS. Al-Ahzab ayat 37.
2.      Al-Adaa’ artinya menunaikan atau membayar, seperti pada firman Allah QS. Al-Jumuah ayat 10.
3.      Al-Hukm artinya mencegah atau menghalangi.
4.      Qadha adalah memutuskan hukum atau membuat suatu ketetapan.[3]
Sehingga dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peradilan adalah lembaga yang mempunyai kekuasaan umum untuk mengadili dan memutuskan perkara antara dua orang atau lebih.
Peradilan sebagai lembaga penyelesaian perselisihan telah lama dikenal di tengah masyarakat Indonesia sejak lama, peradilan tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Peradilan Pradata, yaitu suatu peradilan yang tugas dan kewenangannya mengurusi dan mengangani perkara-perkara yang menjadi urusan raja.
2.      Peradilan Padu, yaitu suatu peradilan yang mempunyai tugas dan wewenang mengurusi dan menangani perkara-perkara yang bukan menjadi urusan raja.[4]
Penyebaran agama Islam yang telah sampai ke wilayah Indonesia dan secara bertahap diterima oleh masyarakat Indonesia. Agama Islam telah banyak mempengaruhi ajaran, budaya, nilai-nilai norma masyarakat serta sitem peradilan yang sebelumnya berpaham ke ajaran Hindu Budha. Peradilan Agama yang sebelumnya Peradilan Islam merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam.Undang-Undang ini” (Pasal 2 UU No. 3 Tahun 2006). Dalam hal ini, Peradilan Agama hanya berwenang dibidang perdata tertentu saja, tidak pidana dan pula hanya untuk orang-orang Islam di Indonesia, dalam perkara-perkara perdata Islam tertentu, tidak mencakup seluruh perdata Islam.[5]




B.     Sejarah dan Perkembangan
Peradilan Agama sebagai institusi atau lembaga peradilan di Indonesia sangatlah penting dalam penegakkan hukum di Indonesia khususnya dalam lingkup hukum Islam. Hal tersebut terbukti dengan adanya pelaksanaan kekuasaan kehakiman dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan berlakunya UU No 14 Tahun 1970. Berlakunya peraturan UU No 14 Tahun 1970 merupakan akar dari Keputusan Menteri Agama No 6 Tahun 1980 tentang Penyeragaman nama-nama pengadilan dalam lingkungan peradilan agama dengan sebutan Pengadilan Agama pada tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama pada tingkat banding.
Guna menciptakan peradilan agama yang mandiri dan sejajar dengan peradilan yang lain sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, peradilan agama banyak mengalami proses panjang yaitu dari tahun 1975-1988. Departemen Kehakiman dengan koordinasi BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) menyediakan anggaran untuk RUU-PA, yaitu dengan keluarnya:
1.      Surat Keputusan Menteri Kehakiman No G-164 PR-09.03 tahun 1982 tentang pembentukan tim inti pembahasan dan pembentukan
2.      Surat Keputusan Menteri Kehakiman No G-25 PR-09.03 tahun 1983 tentang pembentukkan panitia antar Departemen dan Perguruan Tinggi dan Panitia Penyusunan RUU tentang Acara Peradilan Agama
3.      Surat Keputusan Menteri Kehakiman No G-198 PR-09.03 tahun 1984 tentang Tim Pembahasan dan Penyusunan RUU tentang Susunan Kekuasaan Badan Peradilan Agama yang dibiayai dari dana BADKI Departemen Agama.[6]
Kemudian setelah diundangkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Akhirnya Peradilan Agama dialihkan ke dalam lingkungan Mahkamah Agung yang sebelumnya di bawah Departemen Agama. Sejak saat itulah, Pengadilan Agama, baik dari sisi kewenangan maupun kelembagaan diatur oleh sebuah peraturan perundangan yang secara eksplisit merinci tentang pelayanan Peradilan yang standar yang harus diberikan oleh lembaga Peradilan Agama tersebut. Namun demikian, kewenangan yang dimiliki Peradilan Agama ketika itu memang masih sangat terbatas. Penyelesaian sengketa yang menjadi kompetensi Peradilan Agama masih berkisar dan terpusat pada penyelesaian masalah nikah, talaq, cerai dan rujuk.
Masuknya pihak eksekutif ke dalam kekuasaan kehakiman disinyalir sebagai salah satu sebab mengapa kekuasaan kehakiman di negeri ini tidak independen. Alasan itulah antara lain yang menyebabkan status dan kedudukan Peradilan Agama belum bisa dikatakan sebagai Peradilan yang independen, mandiri, dan kokoh, selama masa Orde Baru. Untuk memperbaiki kondisi tersebut, pada tanggal 8 Desember 1988 Presiden RI menyampaikan Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama (RUU PA) kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang, akhirnya RUU PA tersebut disahkan menjadi UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.[7]

C.    Kompetensi dan Kewenangan Peradilan Agama
Dengan berlakunya UU No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama maka dalam kewenangannya sangatlah mempunyai peran penting dalam penegakkan hukum Islam bagi masyarakat Islam di Indoensia. Selain itu, dengan perumusan KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang meliputi bidang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan, maka salah satu masalah yang dihadapi oleh Peradilan Agama yaitu kenaekaragaman dan ketentuan hukum dapat teratasi. Berkenaan dengan hal tersebut, maka dalam uraian berkutnya dikemukakan tentang UU No 7 tahun 1989 serta adanya Intruksi Presiden (Inpres) No 1 tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
Undang-Undang no 7 tahun 1989 merupakan bentuk pelaksanaan atas Undang-Undang No 14 tahun 1970 yang secara umum isi dari UU No 7 tahun 1989 memuat perubahan tentang penyelanggaraan PADI, yaitu:[8]
1.      Perubahan tentang dasar hukum pelenggaraan PADI
2.      Perubahan tentang kedudukan PADI dalam tata peradilan nasional
3.      Perubahan tentang kedudukan hakim Peradilan Agama
4.      Peruabahan tentang kekuasaan pengadilan dalam lingkungan PADI
5.      Perubahan tentang hukum acara Peradilan Agama
6.      Perubahan tentang administratif Peradilan Agama
7.      Perubahan tentang perlindungan terhadap wanita.
Selanjutnya dikeluarkannya Inpres No 1 tahun 1991 tentang Penyelenggaraan Kompilasi Hukum Islam berhubungan dengan kemajemukan hukum dalam sistem hukum nasional. Dengan adanya peraturan tersebut menjadikan Peradilan Agama dapat diakui keberadaannya dimana Peradilan Agama mempunyai kewenangan menangani persengketaan di bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Walaupun KHI bukanlah suatu Undang-Undang, namun merupakan petunjuk terhadap Undang-Undang dengan adanya Inpres No 1 tahun 1991 yang dapat diterapkan oleh para hakim dalam yurisprudensi Peradilan Agama dalam memutus perkara-perakara yang dihadapi dalam ruang lingkup hukum keluarga Islam.

D.    Kedudukan, Kekuasaan dan Kewenangan Hakim Peradilan Agama
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai  perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-undang ini. Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama, Pengadilan Tinggi Agama. Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan  Negara Tertinggi.[9]
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24 menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan Mahkamah Agung RI dan lain-lain badan peradilan menurut undang-undang. Sebagai realisasi pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 itu, maka ditetapkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Titik awal pembaruan peradilan agama baru dimulai sejak ditetapkan UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, pemerintah lebih mempertegas keberadaan peradilan agama. Paling tidak, ada dua prinsip pokok pembaruan peradilan agama yang diatur UU No. 14 Tahun 1970. Pertama, menetapkan Peradilan Agama sebagai salah satu lingkungan badan peradilan negara disamping tiga badan peradilan lainnya. Kedua, penghapusan sistem “fiat eksekusi”[10] oleh peradilan umum atas putusan peradilan agama. Sehingga menyebabkan kedudukan peradilan agama yang “inferior ” di hadapan peradilan umum.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 ini telah menempatkan Peradilan Agama sebagai salah satu lingkungan pelaksanaan kekuasaan kehakiman, secara konstitusional, Pengadilan Agama merupakan salah satu  badan peradilan yang mandiri dan sederajat dengan lembaga perdilan yang lain. Wewenang Peradilan Agama adalah menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara tertentu dan bagi kelompok tertentu, yaitu  perselisihan di antara orang-orang yang beragama Islam. Ditetapkan pula  bahwa pembinaan dan pengawasan fungsi Pengadilan Agama dilaksanakan oleh Mahkamah Agung RI, sedangkan organisasi, administrasi, finansial  berada di bawah Departemen Agama RI.[11]
Kemudian, peradilan agama lebih diperkuat lagi dengan keluarnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1/1977 tentang Kasasi bagi putusan Pengadilan Agama. Penyeragaman istilah untuk seluruh Indonesia baru dilakukan setelah keluarnya Surat Keputusan (SK) Menteri Agama Nomor 6 Tahun 1980, yaitu Pengadilan Agama untuk pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama untuk tingkat banding. Pada 29 Desember 1989, Presiden Republik Indonesia mengesahkan UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang dimuat dalam Lembaran Negara RI Nomor 49 Tahun 1989 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3400.[12]
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, pembinaan Peradilan Agama diarahkan untuk menjamin penegakan, pelayanan dan kepastian hukum dalam  bidang kekeluargaan bagi masyarakat yang beragama islam. Disamping itu,  pembinaan Peradilan Agama juga diarahkan untuk meningkatkan keterpaduan dalam pembinaan dan penyelenggaraan Peradilan Agama dengan ketiga  badan peradilan yang lain. Kemudian disisipkan pula hakim Peradilan Agama yang berkualitas dan profesional dalam penegakan hukum, kepastian hukum, dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Suasana dan peran Peradilan Agama pada pasca-Stbl. Nomor 116, yurisdiksinya tetap kabur balik dalam bidang perkawinan dan kewarisan. Demikian juga dalam pasal 63 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 masih ada kesan melecehkan Pengadilan Agama, yaitu putusannya mesti harus dikukuhkan oleh Pengadilan Negeri, seolah-olah Peradilan Agama bukan peradilan yang mandiri.[13]
Setelah disahkannya UU No. 7 Tahun 1989, peradilan agama memiliki UU yang lebih maju dari ketentuan-ketentuan UU yang ada sebelumnya.[14]Namun, dari segi aspek kedudukan dan status sebagai satu kesatuan pelaksana kekuasaan kehakiman di negara hukum Indonesia, ia  belum bisa dikatakan mandiri, karena masih berada di bawah Departemen Agama sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif. Akibatnya, proses dan  perjalanan peradilan agama menjadi tidak normal.[15]
Bukan saja karena adanya intervensi dari kekuatan politik di eksekutif, tetapi juga perhatian  pihak eksekutif terhadap peradilan agama jauh dari memadai. Menurut sumber dari Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama dalam periode tahun 1970-1989 baru ada 158 Pengadilan Agama dan 10 Pengadilan Tingkat Banding, hakim agama baru ada sebanyak 155 orang sehingga tugas-tugas dalam penyelesaian perkara dibantu oleh hakim honorer dari para kiai dan para tokoh masyarakat yang ahli dalam bidang hukum Islam. Hukum acara masih berserak dan terserak dalam berbagai peraturan  perundang-undangan yang ditinggal pemerintah kolonial Belanda yang masih dinyatakan berlaku.[16]
Perlu dicatat bahwa pada masa-masa awal Peradilan Islam itu, wewenangnya sangat luas dan tidak terbatas hanya pada urusan ahwal al-syakhsiyah saja, seperti nikah, talak rujuk, waris, hadanah, tetapi juga mencakup hukum pidana (jinayah), sehingga Peradilan Islam ketika itu betul- betul merupakan peradilan umum bagi umat Islam.[17]Dengan diangkatnya Hakim Agama Honorer pada Pengadilan Agama, maka pada saat itu ada dua macam status hakim pada Pengadilan Agama yaitu, (1) Hakim Agama Tetap, yaitu hakim yang diangkat dari lulusan fakultas syariah, minimal lulusan PHIN yang diangkat langsung oleh Menteri Agama RI; (2) Hakim Agama Honorer, yaitu hakim yang direkrut dari para Alim Ulama atau orang yng dipandang mampu dalam bidang hukum Islam, yang mengangkatnya dilakukan oleh Ketua Pengadilan Tingkat Banding atas nama Menteri Agama RI. Honorarium mereka dibayar oleh negara, disamping mendapat uang sidang seperlunya dari Pengadilan Agama tempat mereka bersidang.
Sehubungan dengan tradisi majelis sidang yang ditetapkan dalam Stbl. 1957, Nomor 116 dan Nomor 610, juga dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957, maka Menteri Agama RI mengangkat hakim honorer agar sidang-sidang Pengadilan Agama memenuhi kuorum majelis. Jabatan wakil ketua pada Pengadilan Agama belum terisi karena personelnya belum ada, maka wakil ketua honorer diangkat dengan tugas apabila ketua berhalangan sidang, maka sidang-sidang Pengadilan Agama dapat dipimpin oleh wakil ketua honorer tersebut. Walaupun demikian, kenyataan menunjukan lain yaitu, kesempatan mereka untuk menghadiri sidang Pengadilan Agama menjadi tertunda, dan lambat penyelesaiannya. Antisipasi kelembagaan terhadap kondisi ini, maka Mahkamah Agung RI dengan suratnya Nomor 0/TUADA-AG/III/-Um/ 1987 tanggal 10 Januari 1987 mengijinkan untuk dilaksanakan sidanag-sidang di Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dengan hakim tunggal.
Atas dasar keputusan Musyawarah Alim Ulama Terbatas itu Menteri Agama RI mengngkat wanita menjadi hakim pada Pengdilan Agama. Bahkan sekarang ada wanita hakim Pengadilan Agama menjadi Ketua Pengadilan Agama. Sebenarnya apa yang dilaksanakan oleh Menteri Agama RI itu  bukanlah hal yang baru, sebab jauh sebelumnya Departemen Agama telah melaksanakan Kursus Calon Hakim Agama Wanita berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI atas desakan pihak Kongres Wanita Indonesia (KWI) kedua di Bandung pada tanggal 22-24 November 1956. Dalam merekrut hakim agama wanita pada waktu itu mata pelajaran yang di uji adalah Wanita Islam, Wanita dalam Hukum Adat, Sistem Pengadilan di Indonesia, dan Pengantar Ilmu Hukum.[18]
Usaha kerja sama antara Departemen Agama RI dan Mahkamah Agung RI berpengaruh besar terhadap badan Pengadilan Agama. Pada tahap  pertama di tunjuk beberapa Hakim Agung untuk memeriksa dan memutus  perkara kasasi dari lingkungan Peradilan Agama, yaitu, Ny. Sri Widoyanti Wiratmo Sukito, Z. Asikin Kusumaatmadja, Ronindyopuro, dan Busthanul Arifin. Setelah itu lahir Keputusan Presiden Nomor 33/M/1982 tanggal 22 Februari 1982 tentang Pengangkatan Prof. H. Bustanul Arifin, SH. Sebagai Ketua Muda Mahkamah Agung RI Urusan Lingkungan Peradilan Agama.

Efektivitas pola strategi pembinaan tersebut mendorong diadakan rapat kerja sama antara Mahkamah Agung RI dengan Departemen Agama RI yang kedua. Beberapa hal yang perlu dicatat sebagai realisasi dan keputusan kerja tersebut adalah: (1) penandatanganan empat buah Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI  pada Januari 1983. Salah satu SKB tersebut adalah tentang pengawasan terhadap hakim Peradilan Agama dalam rangka meningkat disiplin dan wibawa hakim; (2) pembentukan tim inti pembahasan dan penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Acara Paeradilan Agama, pembentukan tim ini dilaksanakan dengan Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor G. 164, PR. 0903 Tahun 1982, kemudian dikuatkan dengan izin Sekretaris  Negara RI Nomor 736/-Mensesneg/9/1983 tanggal 13 September 1983.
Langkah strategis lain yang dirancang sebagai tindak lanjut hasil raker tadi adalah pembentukan hukum materil yang akan dijadikan pegangan bagi hakim Pengadilan Agama. Ide pembentukan hukum materil dalam wujud Kompilasi Hukum Islam (KHI) timbul setelah beberapa tahun setelah Mahkamah Agung RI membina bidang teknis yutisial Peradilan Agama. Disana disarankan adanya beberapa kelemahan antara lain soal hukum Islam yang tetap di lingkungan Peradilan Agama cenderung beragam disebabkan oleh perbedaan pendapat ulama dalam hampir setiap persoalan. Untuk itu diperlukan satu buku yang menghimpun semua hukum yang dapat dijadikan  pegangan oleh hakim Peradilan Agama dalam melaksanakan tugasnya, sehingga terjamin adanya kesatuan hukum. Langkah-langkah strategis itu diorganik dengan pembentukan keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung RI dengan Menteri Agama RI Nomor 07/KMA/1985 dan Nomor 25 Tahun 1985 tanggal 15 Maret 1985 tentang Penunjukan Pelaksanaan Proyek Pembangunan Hukum Islam Melalui Yurisprudensi.

Setelah mengalami proses kerja yang saksama dan memakan waktu yang cukup panjang, maka rancangan Kompilasi Hukum Islam tersusun dan diterima baik dalam lokakarya yang dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 2-5 Februari 1988. Kompilasi Hukum Islam terdiri dari tiga buku, yaitu buku  pertama Hukum Perkawinan, kedua Hukum Kewarisan dan buku ketiga memuat Hukum Perwakafan. Presiden RI dengan Intruksi Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 memerintahkan Menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam itu kepada seluruh instansi  pemerintah, dan masyarakat yang memerlukannya.
Dengan keluarnya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, tidak ada masalah lagi tentang: (1) Wewenang; (2) Hukum Acara; (3) Susunan Peradilan Agama. Dan kekurangan lainnya seperti hukum material tertulis yang disusun secara sistematis dalam bahasa dan Peraturan Perundang-undangan yang dapat dijadikan pegangan oleh semua pihak yang mencari keadilan di Pengadilan Agama, juga telah lahir dalam bentuk instruksi presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.[19]
 Tentang kedudukan Hakim Peradilan Agama dalam kurun waktu ini, dikemukakan oleh Purwo S. Gandasubrata, Wakil Ketua Mahkamah Agung RI dalam simposium Sejarah Peradilan Agama tanggal 5 April 1982 di Jakarta bahwa Hakim Peradilan Agama sekarang bukan lagi “Penghulu Rechter” zaman dahulu. Sesuai dengan pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dimana dijelaskan bahwa Peradilan Agama termasuk salah satu lingkungan peradilan yang diakui negara, maka hakim yang bekerja di Peradilan Agama adalah hakim negara dengan tugas mengadili perkara tertentu yang masuk kewenangannya.[20]
Keluarnya Instruksi Presiden RI Nomor 12 tahun 1970 tentang Penegasan Kedudukan Hakim, maka ada sementara pihak yang mempertanyakan apakah hakim agama termasuk hakim negara? Sehubungan dengan hal ini Kepala Kantor Urusan Pegawai dalam rapat kerja yang dilaksanakan pada bulan September 1970 di Jakarta menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hakim adalah hakim pada Pengadilan Negeri, Hakim Pengadilan Agama termasuk juga dalam ketentuan instruksi tersebut, apabila  berstatus sebagai pegawai negeri dan mendapat gaji dari kas negara.
Kedudukan tadi dipertegas lagi oleh Ketua Mahkamah Agung RI dengan Departemen Agama RI dengan SKB Nomor KMA/00/1/1983 dan  Nomor 4 Tahun 1983, di mana dikemukakan bahwa perlu adanya usaha membantu memperlancar rekrutmen hakim pada Pengadilan Agama sebagai hakim negara tidak perlu di persoalkan lagi. Kedudukannya sama dengan hakim yang bekerja di lingkungan peradilan yang lain.[21]
Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu pilar bagi negara yang berlandaskan sistem demokrasi dan negara hukum.[22]Kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak tidak hanya diartikan bebas dari  pengaruh kekuasaan eksekutif, tetapi juga bebas dari gangguan dalam melaksanakan tugasnya. Kekuasaan kehakiman juga merupakan instrument  penting untuk menjamin hak-hak asasi dalam mempertahankan keadilan yang merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam demokrasi.
Kekuasaan kehakiman bukan suatu lembaga yang dapt menuntaskan segala persoalan yang menyangkut kekuasaan kehakiman. Beberapa aspek yang sering menjadi persoalan di dalam kekuasaan kehakiman adalah menyangkut pengangkatan, promosi, mutasi pemberhentian, dan tindakan atau hukuman terhadap hakim.
Perlunya suatu lembaga khusus yang memiliki fungsi-fungsi tertentu yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sesungguhnya bahkan merupakan gagasan yang benar-benar baru di Indonesia. Pada tahun 1968, ketika dilaksanakan diskusi membahas RUU tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sempat diusulkan pembentukan lembaga yang diberi nama Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH). Majelis ini mempunyai fungsi untuk memberikan pertimbangan dan mengambil keputusan terakhir mengenai saran-saran atau usul-usul yang berkaitan dengan pengangkatan, promosi, mutasi pemberhentian, dan tindakan atau hukuman jabatan hakim, yang diajukan baik oleh Mahkamah Agung maupun Departemen Kehakiman.[23]
Hakim sebagai pebegak hukum dan keadilan berkewajiban mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Tugas tersebut dibebankan kepada hakim Peradilan Agama agar dapat memutuskan  perkara yang diajukan kepadanya dengan adil dan benar. Mukti Ali, ketika menjabat Menteri Agama RI pada penutupan latihan hakim agama mengemukakan bahwa hakim agama harus dapat menggali, memahami, dan mengahayati hukum yang hidup dalam masyarakat dengan cara meningkatkan ilmu pengetahuan. Sangat besar bahayanya apabila hakim tidak memiliki ilmu pengetahuan yang cukup.[24]
Dalam kaitan ini dimana Rasulullah SAW mengatakan bahwa hakim itu ada tiga golongan, satu golongan dimasukan kedalam surga, dua golongan dimasukan kedalam neraka. Hakim yang memegang kebenaran itulah dimasukan kedalam surga, hakim yang mengetahui kebenaran tapi berlaku curang dalam memberikan keputusan hukum terhadap suatu perkara, dimasukan kedalam neraka. Begitu  pula apabila ia dalam mengambil keputusan lalu ia berijtihad, kemudian ternyata ijtihadnya itu benar, maka ia berhak mendapat dua pahala, tetapi jika ia bersalah mendapat satu pahala.[25]Dengan demikian, hakim Peradilan Agama dalam menciptakan hukum-hukum baru tidak boleh lepas dari ijtihad sebagaimana yang telah ditentukan oleh hukum syara’ , sehingga putusan-putusan yang ditetapkan mempunyai bobot keadilan yang dapat diandalkan. Putusan yang ditetapkan oleh Hakim Peradilan Agama itu dapat menentukan isi hukum yang hidup di Indonesia yang sesuai dengan falsafah Pancasila.

E.     Independensi dan kesejajaran Peradilan Agama
Lembaran baru bagi pencerahan dunia peradilan agama di Indonesia mulai tergores karena pada tanggal 29 Desember 1989 RUUPA (Rancanggan Undang-Undang Peradilan Agama) yang sebelumnya ditunggu-tunggu dengan pengharapan yang beragam, disahkan menjadi Undang-Undang Negara, yaitu UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Menurut Ismail Sunny, UU. No 7 Tahun 1989 itu merupakan bukti nyata besarnya pemahaman dan perhatian pemerintah terhadap aspirasi umat islam, yang mendambakan adanya undang-undang yang secara khusus mengatur tentang peradilan agama.[26]
Lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 tersebut memebawa pengaruh yang sangat besar terhadap keberadaan peradilan agama di Indonesia sehingga menjadi mandiri dan berdiri sam tinggi dengan pengadilan-pengadilan lainnya. Undang-undang tersebut bukan saja hanya mengatur tentang susunan, kekuasaan dan acara pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, tetapi yang sangat mendasar adalah dicabutnya pelbagai aturan yang selama ini mengganjal, baik mengenai pembatasan jangkauan dan penerapan hukum islam bagi umat islam di pengadilan agama, seperti yang tertera dalam pasal 4 ayat 2 PP No 45 Tahun 1957 (masih kuatnya pengaruh teori reseptie-hukum islam baru bisa diterapkan apabila sesuai dengan hukum adat), maupun mengenai ketergantungan pengadilan agama kepada pengadilan negeri berkenaan dengan pengukuhan sebagaimana tertera dalam pasal 63 ayat (2) UU No. ! Tahun 1974.
Melalui pasal 107 UU No. 7 tahun 1989, keberadaan staatsblad 1882 Nomor 152 tentang peradilan agama di Jawa Timur dan Madura, staatsblad 1937 Nomor 116 dan 610 tentang Mahkamah Islam Tinggi di jawa dan Madura, Staatblad 1937 Nomor 638 dan 639 tentang kerapatan Qadhi dan kerapatamn Qadhi besar di sebagian residensi kalimantan Selatan dan Timur, PP Nomor 45 Tahun 1957 tentang pembentukan mahkamah syari'ah di luar Jawa dan Madura, dan pasal 63 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974 tentang pengukuhan Keputusan Pengadilan Agama oleh pengadilan Negeri, [27] secara yuridis tidak berlaku lagi . dengan demikian , peradila agama sebagai peradilan khusus yang mengadili perkara-perkara tertentu dan mengenai kelompok masyarakat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama islam menjadi sejajar dengan peradilan-peradilan lainnya di Indonesia (PN, PTUN, dan PM)
Dengan berlakunya UU No.7 Tahun 1989, hierarki pengadilan dalam lingkungan peradilan agama memiliki hubungan ganda, yakni : (1) hubungan fungsional dengan Mahkamah Agung, yaitu segi yuridiksi-administratif peradilan; (2) hubungan struktural dengan departemen Agama, yaitu segi administrasi umum, yang meliputi organisasi kelembagaan , kepegawaian, sarana, dan finansial. UU NO. 7 Tahun 1989 ini sekaligus menghapus sebutan pengadilan agama yang kerempeng, "hidup segan mati pun tak mau". Karena Pengadilan Agama telah memiliki regulasi yang kuat, yang mengatur tentang; susunan, kekuasaan, dan hukum acaranya.[28]



Kelengkapan susunan yang legitimate serta kekuasaan dan kewenangan yang jelas yang dimiliki peradilan agama itu dilengkapai pula dengan adanya sumber hukam acara seperti disebutkan dalam pasal 54 UU No. 7  Tahun 1989, yaitu hukum acara perdata sebagaimana yang berlaku dalam lingkungan peradilan umum. Disamping itu, dimiliki pula hukum acara yang secara khusus berlaku bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan agama yang terdapat dalam pasal 55 sampai dengan pasal 91 UU No. 7 tahun 1989. Dengan adanya ketentuan hukum yang dijadikan rujukan dalam beracara, maka hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan agama tidak lagi sembarangan dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara , tetapi dikawal oleh mekanisme dan aturan permainan yang harus diikuti sebagaimana halnya yang sudah berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.[29]
Posisi peradilan agama itu semakin lengkap  dengan lahirnya Inpres No 1 tahun 1991 tentang Pemasyarakatan  kompilasi Hukum Islam  yang berlaku sebagai hukum materiil bagi pengadilan agama . Pemberlakuan Inpres No 1 tahun 1991  itu sendiri diatur dengan keluarnay Keputusan Menteri Agama No 154 tahun 1992, yang salah satu konsiderannya menyatakan, bahwa KHI dapat dijadikan pedoman bagi penegak hukum dan para pihak yang memerlukannya.[30]



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berlakunya peraturan UU No 14 Tahun 1970 merupakan akar dari Keputusan Menteri Agama No 6 Tahun 1980 tentang Penyeragaman nama-nama pengadilan dalam lingkungan peradilan agama dengan sebutan Pengadilan Agama pada tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama pada tingkat banding
Guna menciptakan peradilan agama yang mandiri dan sejajar dengan peradilan yang lain sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, peradilan agama banyak mengalami proses panjang yaitu dari tahun 1975-1988. Departemen Kehakiman dengan koordinasi BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) menyediakan anggaran untuk RUU-PA, yaitu dengan keluarnya:
1.      Surat Keputusan Menteri Kehakiman No G-164 PR-09.03 tahun 1982 tentang pembentukan tim inti pembahasan dan pembentukan
2.      Surat Keputusan Menteri Kehakiman No G-25 PR-09.03 tahun 1983 tentang pembentukkan panitia antar Departemen dan Perguruan Tinggi dan Panitia Penyusunan RUU tentang Acara Peradilan Agama
3.      Surat Keputusan Menteri Kehakiman No G-198 PR-09.03 tahun 1984 tentang Tim Pembahasan dan Penyusunan RUU tentang Susunan Kekuasaan Badan Peradilan Agama yang dibiayai dari dana BADKI Departemen Agama
Pada masa Orde Baru kekuasaan dari lembaga peradilan (yudikatif) mengalami perkembangan yang signifikan yaitu dengan di Undangkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang mana dalam Undang-Undang ini kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh empat lingkungan peradilan yang ada yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara yang semuanya berada di bawah Mahkamah Agung. Ketentuan UU No. 14/1970 tersebut merupakan awal proses  penyusunan RUU-PA. Menurut prosedur yang telah ditetapkan dalam INPRES No. 15/1970 tentang tata cara mempersiapkan Rancangan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah RI, terlebih dahulu harus diajukan  permohonan izin prakarsa membuat Rancangan Undang-Undang kepada  presiden. Maka Menteri Agama K.H. Moh. Dachlan mengajukan permohonan membuat RUU tersebut kepada presiden dengn suratnya No. MA/242/197 tanggal 31 Agustus 1971. RUU yang diajukan prakarsanya adalah tentang Susunan dan Kekuasaan serta Acara Peradilan Agama. Setahun kemudian, Menteri Agama Prof. Dr. H. A. Mukti Ali mengirim surat lagi kepada  presiden, menyusul surat Menteri Agama sebelumnya, yaitu dengan suratnya tanggal 9 Agustus 1972 No. MA/288/1972



DAFTAR PUSTAKA
Aripin, Jaenal.JejakLangkahPeradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana ,2013
BasiqDjajil, A. Peradilan Agama di Indonesia, GemuruhnyaPolitikHukum (Hukum Islam, Hukum Barat, HukumAdat) dalamRentangSejarahBersamaPasangSurutLembagaPeradilan Agama HinggaLahirnyaPeradilanSyariat Islam Aceh, Jakarta: Kencana, 2006
DjamilLatif, M.KedudukandanKekuasaanPeradilan Agama di Indonesia Jakarta: BulanBintang, 1983
Ichtijanto, H. SA. Ikatan Hakim Agama, OrganisasiPerjuangan di BidangHukum, Jakarta: PanitiaMunasLuarBiasa IKAHA, 1995
KetetapanMajelisPermusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/1999 tentangPertanggungjawabanPresidenRepublik Indonesia Prof. Dr. Ing.BachruddinJusufHabibiedalamMajelisPermusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, KetetapanMajelisPermusyawaratan Rakyat Republik Indonesia HasilSidangUmum MPR RI Tahun 1999, (Jakarta, Sekretariat MPR-RI, 1999) hal. 45-50. Di dalambukunyaSugihantoHasanuddien, Hukum&Peradilan Islam di Indonesia (Ponorogo: STAIN Po PRESS 2007) hlm. 123.
koto, Alaiddin, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
MananChikLamkuta, A. Hakim di LingkunganPeradilan Agama, ArtikeldalamHarianPelita, terbitanhariRabutanggal 7 Maret 1984
Manan Abdul, Etika Hakim dalamPenyelenggaraanPeradilan, SuatuKajiandalamSistemPeradilan Islam, Jakarta; Kencana 2010
RahmanSaleh, Abdul.Status, komposisi, jumlahsertabeberapamasalahKomisiYudisial Indonesia di Bidang SDM” Makalahdisampaikandalam Workshop Penyusunan Policy Paper dan Draft RUU tentangKomisiYudisial, di Hotel Borobudur, Jakarta, 28 Agustus 2002
Roestam, St. Zafrullah Salim, M.S, Wijaya, Menulusuri Perkembangan Sejarah Hukum dan Syari’at Islam, Jakarta: Kalam Mulia, Cet 1, 1992
Roihan, A. Rasyid.  Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Rajawali Press, 1992.
Sabiq,sayyid.FiqhusSunnah, Kuwait: Darul Bayan,Cetakan V, 1971 JILID III
Sunaryo Mukhlas, Oyo.Perkembangan Peradilan Islam: dari Kahin di Jazirah Arab ke peradilan Agama di Indonesia,Bogor: ghalia Indonesia, 2011
Tri Wahyudi, Abdul. S. Ag., S.H., Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
UU No 1 Tahun 1974TentangPerkawinan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
YahyaHarahap, M.BeberapaMasalahHukumAcarapadaPeradilan Agama, Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 1993



[1]Tim Penyusun, KBBI, 1990.
[2]Abdullah Tri Wahyudi, S. Ag., S.H., Peradilan Agama di Indonesia,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hlm 1.
[3]Prof. Dr. Alaiddin koto, M.A., Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), hlm. 9-10.
[4]Abdullah Tri Wahyudi, S. Ag., S.H., Peradilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hlm 2.
[5]Roihan, A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Rajawali Press), 1992, cet. 2, hlm. 5-7
[6]St. Roestam, Zafrullah Salim, M.S, Wijaya, Menulusuri Perkembangan Sejarah Hukum dan Syari’at Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, Cet 1, 1992), hlm. 514.
[8]Prof. Dr. Alaiddin koto, M.A., Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), hlm. 261.
[9]Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
[10]JaenalAripin, JejakLangkahPeradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana 2013), hlm 136.
[11]Abdul Manan, Etika Hakim dalamPenyelenggaraanPeradilan, SuatuKajiandalamSistemPeradilan Islam, (Jakarta; Kencana 2010) hlm 171
[13]M. YahyaHarahap, BeberapaMasalahHukumAcarapadaPeradilan Agama, (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 1993), hlm 57,
[14]JaenalAripin, JejakLangkahPeradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana 2013), hlm138.
[15]ibid
[16]Ibid, hlm 172
[17]M. DjamilLatif, KedudukandanKekuasaanPeradilan Agama di Indonesia(Jakarta: BulanBintang, 1983), hlm 9
[18]H. Ichtijanto, SA. Ikatan Hakim Agama, OrganisasiPerjuangan di BidangHukum
, (Jakarta: PanitiaMunasLuarBiasa IKAHA, 1995), hlm. 43
[19]A. BasiqDjajil, Peradilan Agama di Indonesia, GemuruhnyaPolitikHukum (Hukum Islam, Hukum Barat, HukumAdat) dalamRentangSejarahBersamaPasangSurutLembagaPeradilan Agama HinggaLahirnyaPeradilanSyariat Islam Aceh, (Jakarta: Kencana, 2006) hal 19
[20]A. MananChikLamkuta, Hakim di LingkunganPeradilan Agama, ArtikeldalamHarianPelita, terbitanhariRabutanggal 7 Maret 1984, hlm. 3. Lihat di dalambukunya Abdul Manan, Ibid., hlm, 176
[21]Ibid
[22]KetetapanMajelisPermusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/1999 tentangPertanggungjawabanPresidenRepublik Indonesia Prof. Dr. Ing.BachruddinJusufHabibiedalamMajelisPermusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, KetetapanMajelisPermusyawaratan Rakyat Republik Indonesia HasilSidangUmum MPR RI Tahun 1999, (Jakarta, Sekretariat MPR-RI, 1999) hal. 45-50. Di dalambukunyaSugihantoHasanuddien, Hukum&Peradilan Islam di Indonesia(Ponorogo: STAIN Po PRESS 2007) hlm. 123.
[23]Abdul RahmanSaleh, Status, komposisi, jumlahsertabeberapamasalahKomisiYudisial Indonesia di Bidang SDM” Makalahdisampaikandalam Workshop Penyusunan Policy Paper dan Draft RUU tentangKomisiYudisial, di Hotel Borobudur,( Jakarta, 28 Agustus 2002), hlm 2
[24]A. MananChikLamkuta, Hakim di LingkunganPeradilan Agama, .... 177.
[25]SayyidSabiq, FiqhusSunnah, (Kuwait: Darul Bayan,Cetakan V, 1971) JILID III, hlm 339
[26]Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam: dari Kahin di Jazirah Arab ke peradilan Agama di Indonesia, (Bogor: ghalia Indonesia, 2011) hlm, 145
[27]Pasal 63 ayat (2) UU No 1 Tahun 1974 berbunyi: Setiap Keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum (PN)
[28]Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam: dari Kahin di Jazirah Arab ke peradilan Agama di Indonesia, (Bogor: ghalia Indonesia, 2011) hlm 146
[29]Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam: dari Kahin di Jazirah Arab ke peradilan Agama di Indonesia, (Bogor: ghalia Indonesia, 2011) hlm 148-149
[30]ibida IKAHA, 1995), hlm. 43
[19]A. BasiqDjajil, Peradilan Agama di Indonesia, GemuruhnyaPolitikHukum (Hukum Islam, Hukum Barat, HukumAdat) dalamRentangSejarahBersamaPasangSurutLembagaPeradilan Agama HinggaLahirnyaPeradilanSyariat Islam Aceh, (Jakarta: Kencana, 2006) hal 19
[20]A. MananChikLamkuta, Hakim di LingkunganPeradilan Agama, ArtikeldalamHarianPelita, terbitanhariRabutanggal 7 Maret 1984, hlm. 3. Lihat di dalambukunya Abdul Manan, Ibid., hlm, 176
[21]Ibid
[22]KetetapanMajelisPermusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/1999 tentangPertanggungjawabanPresidenRepublik Indonesia Prof. Dr. Ing.BachruddinJusufHabibiedalamMajelisPermusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, KetetapanMajelisPermusyawaratan Rakyat Republik Indonesia HasilSidangUmum MPR RI Tahun 1999, (Jakarta, Sekretariat MPR-RI, 1999) hal. 45-50. Di dalambukunyaSugihantoHasanuddien, Hukum&Peradilan Islam di Indonesia(Ponorogo: STAIN Po PRESS 2007) hlm. 123.
[23]Abdul RahmanSaleh, Status, komposisi, jumlahsertabeberapamasalahKomisiYudisial Indonesia di Bidang SDM” Makalahdisampaikandalam Workshop Penyusunan Policy Paper dan Draft RUU tentangKomisiYudisial, di Hotel Borobudur,( Jakarta, 28 Agustus 2002), hlm 2
[24]A. MananChikLamkuta, Hakim di LingkunganPeradilan Agama, .... 177.
[25]SayyidSabiq, FiqhusSunnah, (Kuwait: Darul Bayan,Cetakan V, 1971) JILID III, hlm 339
[26]Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam: dari Kahin di Jazirah Arab ke peradilan Agama di Indonesia, (Bogor: ghalia Indonesia, 2011) hlm, 145
[27]Pasal 63 ayat (2) UU No 1 Tahun 1974 berbunyi: Setiap Keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum (PN)
[28]Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam: dari Kahin di Jazirah Arab ke peradilan Agama di Indonesia, (Bogor: ghalia Indonesia, 2011) hlm 146
[29]Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam: dari Kahin di Jazirah Arab ke peradilan Agama di Indonesia, (Bogor: ghalia Indonesia, 2011) hlm 148-149
[30]ibid